Gairah untuk Hidup

316

SAMPAI kapan toko buku bertahan hidup? Pertanyaan itu spontan terbit di benak saya seusai membaca berita di The Guardian, pekan lalu, yang menyatakan penjualan Waterstones, mata rantai toko buku terbesar di Inggris, pada 2014 merosot 5,9% dan rugi 3,8 juta pound. Bukan berita muram pertama, tetapi tetap mengusik karena mengingatkan kembali kisah Borders. Jaringan toko buku Borders berdiri 1971 di Ann Arbor, Michigan, AS. Pertama kali ekspansi internasional ke Singapura (1997), lalu Inggris, Irlandia, Australia, dan Selandia Baru.

Pada 30 Januari 2010 memiliki 511 toko buku dengan total karyawan 19.500 di seluruh AS, tetapi di era digital Borders bangkrut (2011), ironisnya setelah dua tahun bekerja sama dengan Amazon, toko buku raksasa di dunia maya.

Saya teringat toko buku Gunung Agung yang didirikan 1953 oleh Tjio Wie Tay, tersohor sebagai Haji Masagung. Pada 1991 go public, 22 tahun kemudian PT Toko Gunung Agung Tbk berganti nama menjadi PT Permata Prima Sakti Tbk karena berpindah lini bisnis dari percetakan dan toko buku ke batu bara setelah dibeli Garibaldi Thohir, CEO Adaro Energy. Seluruh keturunan pendiri Gunung Agung tergusur dari direksi dan komisaris. Empat entitas anak perseroan dilepas, dialihkan ke PT GA Tiga Belas, tempat bernaungnya Gunung Agung. Toko buku itu tetap eksis dan terus bergairah untuk hidup.

Gramedia menghadapi penurunan penjualan buku, digantikan nonbuku. Pada 2012 penjualan buku 47%, nonbuku 53%. Pada 2013 penjualan buku 44%. Pada 2014 penjualan buku tinggal 43%. Semua itu fenomena memprihatinkan karena menunjukkan tanda kebangkrutan peradaban cetak beserta dunia kecendekiawanan yang menyertainya. Pada mulanya kematian toko buku, lalu pengarang, kematian intelektual. Kematian karena keusangan karya serta keengganan mengikuti perubahan teknologi digital.

Sebaiknya memang tak ada hubungan kasualitas kematian toko buku menyebabkan kematian pengarang. Memilih toko buku hidup dan pengarang mati merupakan kekejaman. Sebaliknya memilih pengarang hidup dan toko buku mati terdengar terlalu romantis-tragis. Pilihan realistis kiranya mengikuti informasi keselamatan yang disampaikan awak kabin, pakailah masker oksigen lebih dulu sebelum memakaikannya pada orang lain. Tak ada penerbit dan toko buku mau mati kehabisan `oksigen’ untuk menyelamatkan pengarang yang belum tentu selamat.

Lagi pula takdir pengarang haruslah kejam kepada diri sendiri. Itu membuatnya tak buru-buru mati secara intelektual. Kritikus-teoretikus semiotika Prancis Roland Barthes, antara lain dalam karyanya The Death of the Author, mengatakan ada dua jenis pengarang, yaitu yang menghasilkan readerly texts dan writerly texts.

Pengarang readerly texts memproduksi bacaan sebagai bacaan semata. Pengarang macam itu hidup, tapi wafat. Sebaliknya pengarang writerly texts menghasilkan bacaan dialektis. Pembacanya tergugah menjadi `pengarang’ bagi diri sendiri. Pengarang jenis itu hidup selamanya.

Hidup jurnalisme cetak pun terancam dalam industri senja, kecuali karya jurnalisme yang dihasilkan berjenis writerly. Karena itu, jurnalisme cetak memerlukan gairah untuk hidup. Ia harus kejam terhadap diri sendiri demi menghasilkan teks jurnalisme yang dialektis.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.