Sapu Lidi
SEBAIK-BAIKNYA perkara ialah di tengah-tengah. Namun, yang baik itu belum tentu pilihan, apalagi putusan. Untuk sampai di tengah-tengah yang baik itu, perlu kualitas kejiwaan berlapang dada, serta mindset terbuka. Tak ada yang baru dalam pernyataan itu. Kualitas tersebut bakal menjadi cuma omongan orang ngigau bila semata di bibir dan lidah, yang tiada bertulang.
Apakah buktinya dalam kenyataan? Jawabnya kiranya harus dalam kata kerja, bukan kata benda, terlebih kata benda abstrak. Nilai-nilai yang baik dinyatakan dalam kata benda abstrak bakal membuat sang nilai kian melambung ke angkasa biru, tanpa pernah mendarat di bumi yang kejam.
Down to earth, yang mengandung kata kerja, memang lebih mudah di bibir dan di lidah. Kata kerja utama untuk mencapai sebaik-baiknya perkara di tengah-tengah ialah memberi dan menerima. Selintas, dua perkara yang baik. Realitas? Suatu hari, di perhentian lampu merah di sebuah jalan, seorang penyandang disabilitas menawarkan dagangannya berupa sapu lidi.
Dalam hidupku yang telah bercucu ini, belum pernah sekali pun berbelanja alat rumah tangga, entah sapu, apalagi panci dan kuali. Setelah mendapat jawaban berapa harga seikat sapu lidi, saya memberinya uang pas. Ia menerima uang itu. Sebaliknya, saya kemudian mengembalikan sapu lidi itu dengan pikiran ia dapat menjajakannya lagi kepada orang lain agar rezekinya bertambah.
Sapu itu diterimanya, tapi uang saya dikembalikannya lalu beranjak pergi. Ia protes keras karena saya telah memperlakukannya sebagai pengemis, bukan penjaja. Ia menolak relasi dermawan-pengemis. Sebagai penyandang disabilitas sekalipun, ia teguh menegakkan relasi penjual-pembeli yang setara.
Saya menyesal, terpukul! Kesetaraan memberi dan menerima kiranya juga syarat perlu demi tercapainya kebajikan bersama, dalam urusan kepublikan, kenegaraan. Tanpa memberi dan menerima dalam kedudukan yang setara, tak bakal terwujud bahwa sebaik-baiknya perkara ialah di tengah-tengah.
Pemerintah dan DPR setara, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Demikian kata konstitusi. Namun, yang cenderung terjadi perlakuan seperti relasi peminta-minta (pemerintah) dan dermawan (DPR). Padahal, dalam relasi pengemis-dermawan, tidak bakal terjadi bahwa sebaik-baiknya perkara ialah di tengah-tengah.
Berkeputusan di tengah-tengah merupakan hasil musyawarah untuk mufakat, bukan hasil melobi untuk kompromi. Kompromi memerlukan hitung-hitungan, sedangkan musyawarah untuk mufakat memerlukan dada lebar dan mindset terbuka, memberi dan menerima.
Dalam memberi, orang kiranya tidak makin berkurang, tetapi bertambah-tambah. Dalam menerima, orang kiranya bukan menggenapkan kekurangan karena tidak ada yang ganjil. Perkara sapu lidi itu menunjukkan tidak ada yang ganjil pada seorang penyandang disabilitas yang membuat saya menyesal, terpukul.
Melalui sapu lidi itu, ia menunjukkan sebuah karakter. Terus terang, DPR bukan lembaga invalid, tapi saya tidak tahu karakter apa yang sedang ditunjukkan DPR kepada pemerintah dengan menolak kehadiran Menteri Rini di DPR. Mengapa pula DPR sulit memberi dan menerima, musyawarah untuk mufakat, bahwa sebaik-baiknya perkara ialah di tengah-tengah agar tax amnesty segera menjadi undang-undang?
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.