MAKAR

281

MAKAR belum lenyap dari pikiran segelintir anak bangsa, tepatnya dari pikiran pihak-pihak tertentu. Padahal, dari kacamata konstitusi, itu pikiran sesat. Makar di negara demokratis, kiranya termasuk keganjilan dunia. Koran Suara Mer deka, Selasa (22/11) Legi, menurunkan kepala berita sangat gamblang, di halaman depan, ‘Polri dan TNI Endus Upaya Makar’. Dengan didampingi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kapolri Jenderal Tito Kanavian mengatakan ada pihak-pihak tertentu yang telah menyusun rencana makar.

Mereka menyusun sejumlah agenda besar antara lain menduduki Gedung DPR dan MPR serta menyusup dalam acara unjuk rasa yang akan dilaksanakan pada 25 November dan 2 Desember 2016. Kapolri menegaskan, menduduki Gedung DPR merupakan perbuatan melanggar hukum dan masuk kategori tindak pidana makar. Menduduki Gedung DPR berbeda dengan mendatangi Gedung DPR. Menduduki berarti menaklukkan, merebut, dan menguasai, bahkan menjajah dengan kekerasan.

Itulah sebutan yang dipakai suatu masa dalam sejarah, yaitu masa pendudukan Jepang. Singkat, 3,5 tahun, tapi sadis. Sebaliknya, mendatangi Gedung DPR bermaksud untuk mengadu kepada wakil rakyat karena percaya. Menduduki Gedung DPR bukan saja tidak percaya, melainkan juga perbuatan menista lembaga negara, lembaga legislatif. Karena itu, di luar kewarasan konstitusi, kalau ada anggota DPR senang Gedung DPR diduduki pihak-pihak tertentu.

Lebih tak waras lagi kalau perbuatan menduduki Gedung DPR itu justru dikehendaki terjadi oleh anggota DPR, bahkan pimpinannya. Seharusnya semua anggota DPR menunjukkan muruah dan martabatnya terhadap siapa pun yang bermaksud menduduki Gedung DPR. Mereka harusnya pasang jiwa dan raga bersama TNI dan Polri mengawal Gedung DPR, tempat mereka selaku penyelenggara negara bersidang mengambil keputusan-keputusan besar dan terhormat, demi rakyat, bangsa, dan negara.

Menyedihkan bila patriotisme itu tidak menyala-nyala di dada wakil rakyat yang terhormat. Menyedihkan bila anggota parlemen hasil pemi lu tidak bertindak melawan parlemen jalanan yang berencana menduduki gedung parlemen yang sah. Lebih menyedihkan lagi kalau ada di antara mereka justru ikut menjadi tukang kipas agar pendudukan Gedung DPR itu terjadi.

Semua itu nyanyian untuk anggota DPR, hasil pilihan rakyat. Rakyat sendiri, yang empunya mandat, apa yang mesti dilakukan? Sabar, ada waktunya mencabut mandat. Tunggu pemilu, lima tahun sekali. Bagi anak bangsa yang menentang makar, tidak usah naik darah. Tidak usah marah, tidak usah memaki, tidak usah mengumpat. Tidak usah menambah panjang daftar penderita stroke. Lebarkan dada, lapangkan pikiran, katakan dalam hati, “Kurang kerjaan, hari gini masih kepikiran makar.”

Jalani hidup ini dengan semua kewarasannya. Petani ke sawah, nelayan ke laut. Pedagang ke pasar, pegawai ke kantor. Mahasiswa ke kampus. Bagi yang biasa beryoga, beryogalah, bagi yang biasa berjoging, berjoginglah. Teruskan, jangan terganggu. Pernapasan dan aliran darah tetap perlu lancar mengalir. Ajakan makar melalui media sosial juga tak perlu ditanggapi, terlebih membalasnya dengan ujaran kebencian.

Hemat energi batin, jangan dibuang-buang untuk membenci sesama anak bangsa. Kembangkan seyum, seraya membatin, “Emang gue pikirin.” Media sosial untuk silaturahim. Pakailah untuk memperluas persaudaraan atau merekatkan kembali silaturahim yang terputus. Bukan untuk menghasut. Betapa indahnya, berkat media sosial, banyak pensiunan bertemu dengan teman-teman semasa SD, lebih 50 tahun lalu.

Saya sendiri, tiap Senin dan Kamis, gara-gara Podium ini, makar terhadap diri sendiri. Makar, mana karyamu. Mana? Seorang teman, sesekali mengajak makar, mari karokean. Afektivitas, rasa sayang sesama anak bangsa, bahkan universal sesama ciptaan Tuhan, harus dipelihara, bukan dirusak. Yang rakyat restui ialah negara tidak boleh kalah oleh pihak-pihak tertentu. Jika keseimbangan terganggu, rakyat terbelah, negara harus campur tangan. Faktanya, dengan caranya, Presiden Jokowi menunjukkan kepemimpinannya.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.