Serentak Rusak
TERBIT kekhawatiran, negara bakal bertambah rusak gara-gara macetnya anggaran pilkada serentak. Rusak karena pilkada serentak di sejumlah daerah berpotensi menjadi lahan tersemainya benih-benih korupsi.
Benih-benih korupsi itu ialah penggunaan uang pribadi dan dana talangan yang dilakukan sejumlah KPUD dan Panwaslu untuk membiayai penyelenggaraan tahapan pilkada. Semua itu karena hingga pekan lalu anggaran pilkada belum juga turun atau cair.
Ke manakah mereka mencari dana talangan? Apa motif memberi talangan? Cukong atau rentenir?
Membayangkan dua jenis manusia itu membiayai penyelenggaraan pilkada membuat perut warga seperti saya mual-mual menderita semacam ‘psiko-state-somatis’. Itu penyakit bakal menimpa warga bila negara (state) gagal membiayai pilkada serentak di sejumlah daerah dan tugas itu diambil cukong dan rentenir.
Tentu tidak tertutup kemungkinan ada bakal calon kepala daerah yang bersedia memberi talangan. Bahkan mungkin dengan iming-iming dana talangan tidak perlu dikembalikan sehingga menerbitkan air liur KPUD dan Panwaslu yang sukmanya lemah. Uang itu merupakan tanda terima kasih jika berhasil ‘dibikin’ menang pilkada.
Uang talangan jelas mengkhawatirkan. Tak kalah mengkhawatirkan, petugas negara menggunakan uang pribadi untuk membiayai urusan negara agar semua tahapan pilkada sesuai jadwal. Contohnya, Panwaslu iuran untuk merekrut dan menyeleksi Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam).
Semua itu dibahasakan sebagai ‘terpaksa’, sekali lagi karena anggaran pilkada belum juga turun. Sepertinya mereka berbuat baik demi negara, yaitu mengeluarkan uang pribadi demi terlaksananya pilkada serentak.
Mereka tampak seperti pejuang-pejuang demokrasi sekalipun karena terpaksa, akibat negara gagal melaksanakan kewajibannya.
Mereka ialah orang-orang hebat karena tidak memilih sikap terpaksa lainnya, yaitu terpaksa tidak melaksanakan tugas operasional sehari-hari terkait dengan pilkada karena tidak ada dana.
Di zaman politik uang dan maraknya korupsi, terus terang saya malah khawatir dengan budi-baik-terpaksa menggunakan uang pribadi dan uang talangan. Saat ini bukan zaman sepi ing pamrih. Tidakkah mereka singa berbulu merpati?
Pertanyaan itu bernuansa fitnah dan katanya fitnah lebih kejam daripada pembunuhan (saya sendiri lebih memilih difitnah daripada dibunuh).
Buanglah jauh-jauh semua itu. Yang diperlukan sikap positif, mewanti-wanti bahkan mengingatkan, bahwa hilangnya batas uang pribadi dan tugas negara bisa membuka perilaku sebaliknya, yaitu bukan lagi uangku demi negara, tapi uang negara ialah uangku.
Uang tidak mengenal batas. Uang tidak berkewarganegaraan. Uang tidak berideologi. Uang tidak bermoral. Karena itu, menteri dalam negeri harus bertindak tegas dan tuntas. Tidak perlu banyak omong seperti zaman menjadi politisi.
Petahana yang masih mau maju lagi dalam pilkada serentak dan menghambat pencairan dana segera saja ambil tindakan seperti mengistirahatkannya lebih cepat.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.