Hilangnya Kejujuran

0 35

DI suatu seminar pendidikan, ahli pendidikan AS, John W Gardner, berbincang dengan Martin Luther King Jr. Ketika itu (1967), seorang perempuan hitam baru saja selesai menyampaikan makalah berjudul Pertama Sekali, Ajar Mereka Membaca

Luther King Jr memiringkan tubuhnya ke Gardner dan berkata, “Pertama sekali, ajar mereka percaya kepada diri sendiri.”

Saya membaca cerita Gardner itu di bukunya, Excellence, yang diterjemahkan dengan bagus oleh Mochtar Pabottingi menjadi Yang Terbaik. Buku itu diterbitkan Yayasan Obor Indonesia. Edisi pertama Mei 1994, dengan Kata Pengantar, Mochtar Lubis.

Kala seminar itu diselenggarakan, 1967, dapat dimengerti, kiranya yang masih perlu diajarkan pertama sekali kepada anak kulit hitam bukan ‘membaca’, melainkan ‘percaya kepada diri sendiri’. Inilah kualitas mental yang dibutuhkan dalam perjuangan menegakkan persamaan hak dengan kulit putih.

Buku itu pertama kali saya baca sekitar 1995-1996. Sekarang, hampir 30 tahun kemudian, di awal 2025, ketika kembali membaca buku tersebut, saya berimajinasi Ki Hadjar Dewantara ‘bertemu’ dengan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah di pemerintahan Prabowo. Apakah kiranya yang beliau katakan kepada Prof Abdul Mu’ti mengenai anak didik? ‘Pertama sekali, ajar mereka membaca’ ataukah ‘Pertama sekali, ajar mereka percaya kepada diri sendiri’?

Rasanya bukan semua itu. Melihat maraknya korupsi, tokoh Taman Siswa, Bapak Pendidikan Indonesia itu kiranya bakal berkata, “Pertama sekali, ajar mereka jujur kepada diri sendiri.”

‘Jujur’, itulah perkara besar bangsa ini, sekarang ini. Bukan ‘membaca’, bukan pula ‘percaya kepada diri sendiri’, melainkan ‘jujur kepada diri sendiri’. Jujur kepada diri sendiri tak memerlukan validasi orang lain. Diri inilah yang tahu, apakah diri ini jujur atau tidak. Membohongi diri sendiri? Tanggunglah sendiri akibat kejiwaannya.

Jujur kepada publik, kepada rakyat, memerlukan verifikasi. Contoh, di ruang publik beredar berita Danantara akan mengelola AUM (assets under management) lebih dari US$900 miliar. Jumlah itu sama dengan 65% GDP kita. Fantastis. Sebelum Danantara beroperasi, sebaiknya US$900 miliar itu lebih dulu diverifikasi dan hasilnya sejujurnya dipublikasi.

Berita lainnya, Dewan Pengawas, Badan Pelaksana, dan pegawai Danantara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian. Asal, mereka dapat membuktikan empat hal.  

Pertama, kerugian bukan karena kesalahan atau kelalaian. Kedua, telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian sesuai dengan maksud dan tujuan investasi dan tata kelola. Ketiga, tidak memiliki benturan kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengelolaan investasi. Keempat, tidak memperoleh kepentingan pribadi secara tidak sah.

Perihal lolos dari tanggung jawab hukum itu diberitakan terdapat di dalam Pasal 3Y UU BUMN yang baru disahkan. Benarkah? Publik tak bisa menguji kebenarannya, karena pembentuk undang-undang tidak pernah memublikasikan draf RUU itu bahkan sampai disahkan DPR. UU BUMN itu seperti mengandung banyak ‘rahasia’ yang tak boleh diketahui rakyat. Rahasia yang layak ditengarai menyimpan ketidakjujuran.

Pasal-pasal itu aneh. Empat alasan itu dapat dijadikan persembunyian hukum ketika Danantara, suatu hari, ‘rugi’ karena korupsi.

Contoh lain mengenai direktur utama Bulog yang baru. Posisi itu diduduki TNI berpangkat mayor jenderal. Hal itu dikritik melanggar UU TNI.

Kata KSAD, yang bersangkutan sudah meninggalkan tentara sejak menjadi dirut Bulog. “Kan sudah ditinggalin tentaranya”.

Apa kata Kapuspen TNI? Jabatan dirut Bulog setara dengan perwira bintang tiga atau letnan jenderal di TNI. Oleh karena itu, demi naik pangkat dari mayjen menjadi letjen, yang bersangkutan dipromosikan menjadi Komandan Jenderal Akademi TNI. Jadi, justru setelah menduduki jabatan dirut Bulog itulah yang bersangkutan sebagai tentara naik pangkat.

Pertanyaannya, siapa yang jujur? KSAD atau Kapuspen TNI. Yang pasti, di dalam keterangan yang berbeda itu tak mungkin keduanya benar.

Leave A Reply

Your email address will not be published.