Untung Ada MK, Untung Ada Pramono-Rano Karno
KE manakah ‘berlabuh’ suara pendukung Anies Baswedan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta? Kiranya jawabannya bukan ‘golput’ atau tidak menggunakan hak pilih.
Berbagai data menunjukkan, suara pendukung mantan calon presiden tersebut signifikan menentukan siapa yang bakal terpilih untuk memimpin Provinsi DKI Jakarta.
Misalnya, survei top of mind yang dilakukan Indikator Politik sebelum pendaftaran pilkada (18-26 Juni), dari 16 nama mengerucut tiga nama: Anies meraih 39,7%, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok 23,8%, Ridwan Kamil 13,1%. Ahok tak ikut pilkada sehingga layak disisihkan dari semesta pembicaraan di artikel ini.
Kuatnya dampak elektoral Anies di DKI Jakarta juga terbaca dari perolehan suara Pilpres 2024. Di sini, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendapat persaingan sangat ketat dari Anies yang berpasangan dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Prabowo-Gibran di DKI Jakarta meraih 2.692.011 suara atau 41,67%. Anies-Muhaimin meraih 2.653.762 suara atau 41,07%. Hanya berselisih 38 ribuan, tepatnya 38.249 suara, atau hanya 0,60%.
Di sisi Prabowo, perolehan suara mereka itu bukan karena Gibran. Sebaliknya, di sisi Anies, perolehan suara mereka bukan karena Muhaimin Iskandar. Jelaslah, betapa bermaknanya jumlah pemilih Anies di DKI Jakarta.
Makanya, berdasarkan sejumlah pandangan, pemenang Pilkada Jakarta kiranya ditentukan oleh suara pendukung Anies. Suara merekalah, yang menurut survei, termasuk di dalam kategori ‘belum menentukan pilihan’.
Berapa jumlahnya mereka? Terendah 9,8%. Setidaknya, berdasarkan hasil survei terakhir Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dengan 1.210 sampel pada 31 Oktober-9 November.
Jumlah yang belum menentukan pilihan itu kian mendekati hari pencoblosan kian berkurang, mengikuti kian bertambah kuatnya elektabilitas Pramono-Rano Karno (46%) mengalahkan elektabilitas Ridwan Kamil-Suswono (39,1%). Selisih 6,9% atau lebih dua kali margin of error 2,9%.
Bila dari jumlah 9,8% itu, sebanyak 2,9% (margin of error), memilih Pramono Anung-Rano Karno, bisa bikin pasangan Ridwan Kamil-Suswono bertambah keok karena selisihnya menjadi lebih tiga kali margin of error.
Temuan Lembaga Survei Indonesia (6-12 September 2024), jika pendukung Anies beralih mendukung Pramono-Rano Karno, signifikan menurunkan suara Ridwan Kamil-Suswono dari 52,7% menjadi 40,5%.
Kunjungan silaturahim Pramono-Rano Karno ke kediaman Anies yang dilansir di media sosial Anies ialah sinyal kian menguatkan bagi pendukungnya untuk memilih Pramono-Rano Karno. ‘Sentuhan emosi’ itu rasanya tak terkejar lagi oleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono.
Pilkada DKI Jakarta tanpa Anies menjadi cagub, menimbang banyaknya pendukung Anies, ialah cacat demokrasi. Cacat itu bertambah ketika semula PDIP tak dapat mengusung calon karena kursi mereka tak sampai 20% di DPRD DKI Jakarta. Ketika itu terbayanglah pilkada ‘dangkal makna’ karena Ridwan Kamil akan dengan mudah terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pasangan Ridwan Kamil-Suswono kala itu diperkirakan menang 95% melawan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana (5%). Dangkal karena praktis dan substansial samalah Ridwan Kamil melawan kotak kosong.
Untunglah ada MK melakukan reviu atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Calon kepala daerah dapat diusung tak hanya oleh partai atau gabungan partai yang meraih 20% kursi DPRD, tetapi juga dapat diusung partai yang meraih 6,5%-10% suara hasil pemilu, bergantung pada jumlah pemilih tetap di provinsi tersebut. Untunglah pula, berkat putusan MK itu, PDIP dapat mengusung Pramono-Rano Karno.
Saya bukan pemilih di Pilkada Jakarta. Saya pemilih Anies dalam pilpres. Ketika Ridwan Kamil menemui Jokowi di Solo (Surakarta), minta restu, bahkan berharap Jokowi berkampanye untuk dirinya, sedikit atau banyak, terkikislah keutamaan seorang pemimpin, setidaknya di mata saya. Apa itu? Karakter. Nah, saya ikut senang kalau Pramono-Rano Karno terpilih memimpin Jakarta.