Sinisme untuk Din Syamsuddin

0 374

INILAH negeri yang tak pernah kekurangan oposisi. Juga tak kelebihan oposisi. Di tiap era, bahkan di era rezim otoriter sekalipun, selalu saja ada orang yang mengambil peran oposisi.

Pernyataan di atas berbicara tentang ‘orang’, bukan ‘partai’. Kenapa? Realitas menunjukkan di dalam memainkan peranan oposisi, orang lebih menonjol ketimbang partai. Di masa pemerintahan Jokowi jilid 1, PKS dan Gerindra berada di kubu oposisi. Yang ‘tersohor’ sebagai oposisi bukan PKS, sang partai, tapi Fahri Hamzah. Bukan Gerindra, melainkan Fadli Zon.

Fahri kemudian bercerai atau diceraikan partainya. Biarlah itu urusan dirinya dengan partainya. Sekalipun Ketua Umum Gerindra Prabowo menjadi menteri pertahanan di Kabinet Jokowi jilid 2, seorang Fadli Zon tetap ‘terasakan’ sebagai oposisi daripada ‘terasakan’ sebagai kader sebuah partai yang kini turut berkuasa di pemerintahan. Itu pun biarlah urusan dirinya dengan partainya.

Selintas tampaklah bahwa oposisi lebih melekat pada orang, tepatnya seseorang, daripada melekat pada ‘sekumpulan orang’ atau partai. Ini pun bukan fakta baru. Di zaman otoriter ada Petisi 50, yakni sekumpulan 50 orang oposisi, tetapi yang terdengar dan yang diingat ialah seorang Ali Sadikin. Sebagian karena kepemimpinannya yang menonjol sebagai Gubernur Jakarta, sebagian lagi karena sosoknya yang memang keras. Ia sepertinya dilahirkan untuk tidak mengenal kata kompromi. Di dalam umurnya yang panjang (81), Bang Ali sempat menyaksikan tumbangnya Pak Harto. Sejarah mencatat, sekeras-kerasnya suara Ali Sadikin sebagai tokoh oposisi, dia tidak dipenjarakan oleh Pak Harto yang otoriter itu.

Presiden Jokowi baru saja menganugerahi Fahri Hamzah dan Fadli Zon bintang jasa Mahaputra Nararya. Di ruang publik terdengar nyaring suara yang seperti menyesali Jokowi. Apa yang salah dengan keputusan presiden itu? Fadli dan Fahri bukan pemberontak. Mereka oposisi. Bukankah wakil ketua DPR layak dapat bintang?

Sistem politik yang sehat memerlukan oposisi. Bukan pemberontak. Jarak antara menjadi ‘pemberontak’ dan ‘oposisi’ amat jauh. Kira-kira, sejauh jarak orang yang berada di gunung bergerilya dengan orang yang berada di Istana untuk mendapat anugerah Bintang Mahaputra.

Semua itu perlu dikemukakan untuk menyambut kata-kata Din Syamsuddin sebelum deklarasi KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Kata Din, tidak perlu ada pihak yang sinis, apalagi sampai melakukan upaya represif dengan membungkam dan menangkap para aktivis. Pernyataan bagian terakhir itu mengandung pesan, atau tersirat pesan, Jokowi tak paham perbedaan oposisi dengan pemberontak.

Tentu saja di masa pandemi korona ini orang boleh menyoal konteks ‘menyelamatkan Indonesia’ di dalam tubuh KAMI. Terbuka tafsir bahwa di situ bersemayam nasionalisme hiperbolis. Apa dikira pemerintah tidak berupaya menyelamatkan Indonesia?

Dunia sedang menyelamatkan diri dari kekejaman covid-19. Celakanya, tak bisa lain, orang harus lebih dulu menyelamatkan negaranya masing-masing. Oleh karena itu, timbul kekhawatiran merebaknya nasionalisme hiperbolis bahwa sebetulnya sedang terjadi perlombaan adu cepat untuk menjadi negara penemu dan penghasil vaksin korona terdepan. Bukan demi kemanusiaan, melainkan demi bisnis raksasa di dalam industri farmasi. Apakah Anda percaya Rusia yang terdepan? Apakah Tiongkok? Apakah Indonesia (Universitas Airlangga, TNI-AD, BIN)? Manakah yang Din Syamsuddin percayai?

Apa pun penilaian Din mengenai Indonesia hari ini, apa pun bayangannya tentang Indonesia di masa depan, dia berhak untuk mengekspresikannya. Dia berhak untuk berserikat menjadi oposisi. Memilih 18 Agustus sebagai tanggal pendeklarasian KAMI, menyelenggarakannya di Tugu Proklamasi, semua itu merupakan momentum dan panggung bernapaskan kemerdekaan RI yang absah dilakukannya. Sebuah happening! Mengatakan itu semua ialah pengertian terhadap orang yang ingin mencapai cita-cita Indonesianya dengan cara-cara legal konstitusional, dengan cara-cara menghormati sejarah.

Meminjam teks dari sebuah novel Albert Camus, rasanya Din Syamsuddin bukan orang aneh. “Seseorang tidak pernah mengubah cara hidupnya; satu cara hidup akan sama baiknya dengan yang lain, dan cara hidupku yang sekarang adalah cocok betul dengan diriku.”

Di zaman Gus Dur, Din ialah direktur jenderal di departemen tenaga kerja. Dia orang Golkar. Di zaman Jokowi, dia Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban. Tujuh bulan menjelang Pilpres 2019, dia mengundurkan diri. Alasannya, dia tidak leluasa dalam menjalankan tugas, ‘karena sudah ada sensitivitas politik yang tinggi karena pilpres’.

Kiranya sekarang belum ada sensitivitas Pilpres 2024. Jikapun ada, bukankah elok bersama menyelamatkan Indonesia sesuai kalender konstitusi? Sekiranya Din Syamsuddin berhasrat menjadi presiden atau wakil presiden, itu pun bukan hasrat yang aneh. Halal hukumnya bermimpi menjadi presiden.

Yang saya heran kenapa Din berkata tidak perlu ada pihak yang sinis. Kenapa sensitif? Sinisme itu ekspresi yang tidak melanggar konstitusi. Kenapa keberatan? Terimalah dengan sama sinisnya, atau terimalah dengan lapang dada. Apakah tulisan ini mengandung sinisme? Atau sarkasme? Emang gue pikirin.

Leave A Reply

Your email address will not be published.