SBY Melukis untuk AHY

0 345

SEBUAH foto SBY dan karya lukisannya beredar di medsos. Ia mengenakan kaus warna hitam, berbaret hitam, dan berdiri di dekat lukisan di kanvas besar. Yang dilukis laut biru berombak gulung-menggulung ke pantai. Kiranya realisme itu dikerjakan di kediamannya di Cikeas.

Ada yang berseloroh perihal baret yang dikenakan SBY, pertanda diri seorang seniman. Tino Sidin juga berbaret. Di masa Orde Baru, ia mengajak anak-anak gemar menggambar melalui TVRI. Seraya menunjukkan karya seorang anak ke kamera, ia akan berucap yang menyenangkan. “Bagus, bagus,” suara Pak Tino memberi apresiasi, menyemangati anak bangsa.

Mantan Presiden AS George W Bush juga melukis setelah pensiun. “Hidup ini harus ditantang,” katanya. “Saya ditantang di lapangan golf. Saya ditantang untuk tetap fit. Saya ditantang dengan lukisan-lukisan saya.”

Bush melukis binatang kesayangannya, potret dirinya, dan tokoh-tokoh dari berbagai negara yang bertemu dengannya saat ia menjabat presiden. Bush melukis terinspirasi Winston Churchill, tokoh yang dikaguminya.

Winston Churchill melukis setelah memperhatikan Goonie, istri adiknya melukis. Itu terjadi di masa liburan keluarga (1915). Churchill ketika itu berusia 41 tahun. Hobi melukis itu berlanjut sampai negarawan Inggris itu lanjut usia. Pada 1998, 105 lukisannya dipamerkan di London. Dalam dua pekan dikunjungi 12 ribu orang.

SBY intens melukis di masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Salah satu karyanya ialah batu karang dan laut. Ini kado khusus untuk ulang tahun AHY (lahir 10 Agustus 1978). Lukisan itu diberi judul panjang: Kokoh Laksana Batu Karang, Lentur Bagaikan Samudera. Terasa klise, tetapi rupanya SBY merasa penting memberi pesan yang sangat eksplisit baik dalam gambar berupa batu karang di tepi laut maupun berupa judul lukisan yang tak memerlukan tafsir. Kiranya inilah pesan dari ayah untuk putranya, pewaris takhta Ketua Umum Partai Demokrat.

Kepemimpinan AHY sempat diguncang dari dalam, melibatkan Moeldoko, orang luar partai yang berkedudukan sebagai Kepala Staf Presiden. Gagal. Lukisan kado ulang tahun itu sepertinya semacam nasihat bagi AHY bahwa memimpin partai politik perlu sebuah paradoks, ‘kukuh dan lentur’.

Dari sisi personal, menasihati anak bukan urusan gampang, terlebih untuk anak yang telah punya anak. Ini perkara banyak orangtua. Terkadang orangtua kudu tega sesekali anak yang dewasa itu perlu terbentur kenyataan betapa kerasnya kehidupan. Mengalami sendiri ialah guru terbaik.

Dari sisi kepublikan, di usia 43 tahun, AHY merupakan ketua umum termuda partai politik yang punya kursi DPR. Ada yang menilai dirinya menjadi ketua umum akibat ‘kecelakaan sejarah’, yakni mundur dari TNI, gagal menjadi Gubernur Jakarta. Ada juga yang menilai jabatan itu ‘peluang keberuntungan sejarah ke masa depan’. Ujian kepublikan pertama baginya bukan guncangan kongres luar biasa yang gagal itu, melainkan seberapa besar rakyat memercayai partai yang dipimpinnya pada Pemilu 2024.

Barangkali tidak pas benar membahasakan sebagai ‘kecelakaan’ atau ‘keberuntungan’ sejarah karena sejarah tak berpihak terhadap nasib apakah dia ‘anak Pak Harto’, atau ‘anak Megawati’, atau ‘anak SBY’, atau kelak ‘anak Jokowi’. Semua itu bukan anak ‘seseorang’, melainkan anak ‘seorang presiden’, dengan goresan nasibnya masing-masing. Anak Pak Harto gagal bikin partai. Jokowi rasanya tak berselera bikin partai sehingga Gibran kiranya tak punya warisan menjadi ketua umum partai. Mantan Presiden Megawati dapat mewariskan kedudukan ketua umum partainya, seperti halnya SBY. Bedanya ialah akibat kecelakaan sejarah, SBY sudah duluan melakukannya.

Kiranya orang perlu melihat genealogi kekuasaan, bagaimana gairah mantan presiden untuk menjadikan anaknya, suatu hari, juga presiden. Dia bisa bernama Puan yang balihonya ada di mana-mana, bisa pula bernama AHY. Sekalipun bukan pendiri partai politik, trajektori sang ayah dari Wali Kota Surakarta via Gubernur Jakarta menjadi Presiden RI — bukanlah perjalanan yang tak boleh diimajinasikan atau diimpikan oleh yang bernama Gibran.

Apa yang dimuliakan demokrasi? Persamaan hak? Suara rakyat suara Tuhan? Jawabnya barangkali semacam darah biru baru, semula hasil samping sirkulasi elite, kemudian menjadi hasil utama demokrasi kita.

Leave A Reply

Your email address will not be published.