Orang Gila Mana yang Percaya?

352

INDEKS Demokrasi Indonesia secara umum meningkat. Namun, indeks aspek kebebasan sipil turun. Itulah salah satu poin pokok hasil survei Badan Pusat Statistik yang diumumkan Senin (29/7).

Penurunan kebebasan sipil itu tertinggi pada indikator ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat. Apa penyebabnya?

Ditengarai antara lain karena hoaks. Orang percaya berita bohong, percaya ujaran kebencian.

Siapakah yang bahagia hidup dengan hoaks, dengan berita bohong? Mungkin hanya orang gila. Alasannya?

Orang gila tidak berkemampuan membedakan yang bohong dan yang faktual. Dunia ini ‘rata’ baginya. Karena itu dia tidak berurusan dengan hoaks atau bukan. Emangnye gue pikirin? Orang gila telah kehilangan pikiran.

Orang waras ialah orang yang bisa membedakan mana bohong, mana faktual. Dia berpikir. Benarkah? Tidak dengan sendirinya. Justru orang waraslah yang percaya hoaks, bukan orang gila.

Maaf, dalam hal hoaks sepertinya tipis batas yang waras dan yang gila. Perbedaan yang tersisa ialah orang gila sesungguhnya tidak lagi tinggal di dalam masyarakat.

Dia tinggal di dalam dirinya sendiri. Dia terputus dengan dunia di luar dirinya. Itu sebabnya dia tidak ada urusan dengan hoaks. Bahkan, dia tidak perlu mandi, terlebih gosok gigi.

Tinggal di dalam masyarakat berarti menjadi ‘waras’, atau masih ‘waras’. Yang waras perlu orang lain, perlu dunia di luar dirinya. Perlu berkomunikasi.

Karena itu perlu mandi, terlebih gosok gigi. Siapa mau berbincang bertatap muka dengan orang waras yang bau jigong? Maaf, saya tidak sudi.

Orang waras di dunia modern ini pun perlu gadget. Perlu telepon seluler. Terjadilah malapetaka itu, orang waras ‘termakan’ hoaks yang disebarluaskan melalui media sosial. Kebebasan sipil tergerus.

Hoaks bukan hanya ‘memakan’ anak bangsa ini yang katanya waras. Hoaks juga ‘memakan’ anak bangsa lain yang juga katanya waras. Kenapa Donald Trump menang, kenapa Brexit terjadi, karena mereka tidak percaya ‘ujaran rasional’ maupun ‘ujaran faktual’.

Apakah Anda membenci Bulan? Apakah Anda membeci astronaut? Saya harap tidak. Kenapa setelah 50 tahun berlalu, masih ada yang percaya bahwa astronaut Apollo 11 mendarat di bulan ialah hoaks?

Ada orang waras yang tidak percaya pada 20 Juli 1969 astronaut Neil Armstrong dan Buzz Aldrin menapakkan kakinya di bulan.

Tidak hanya itu. Ada orang waras yang percaya pemanasan global juga hoaks. Mendarat di bulan atau pemanasan global produk teori konspirasi.

Seorang pakar bilang sejak lahir manusia diharuskan untuk menentukan tatanan yang bermakna pada realitas. Hoaks ‘memelintir’ realitas. Bayangkan bila ada orang waras bilang Jokowi presiden terpilih ialah hoaks.

Bukan realitas, melainkan semata produk konspirasi partai koalisi pengusungnya dengan Mahkamah Konstitusi. Orang ‘gila’ mana yang percaya?

Kebebasan sipil harus dipulihkan, ditingkatkan. Baiklah yang waras kembali percaya ujaran rasional, ujaran faktual, bukan hoaks, bukan ujaran kebencian. Caranya? Jadikanlah media utama, media arus besar sebagai rujukan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.