Menyaring dan Membuang

323

LEGAL dan aktual kiranya dua hal yang kita tunggu mengenai hasil pemilu. Namun, keduanya tidak dapat dihasilkan bersamaan.

Untuk mendapatkan hasil pemilu yang legal orang harus menunggu dengan kesabaran yang panjang. Mencoblos 17 April 2019, hasilnya yang legal baru diumumkan 22 Mei. Sesungguhnya orang telah kehilangan aktualitas.
Dalam rentang waktu yang panjang itu, tepatnya 35 hari, bisa terjadi macam-macam ‘keanehan’. Misalnya, input C1 diperlambat dan di tengah pelambatan itu terjadi upaya mencurangi hasil pemilu.

Untunglah ada Bawaslu yang tanggap dan tangkas yang mengeluarkan instruksi agar setiap PPS mengumumkan hasil C1 di kelurahan. Bahkan diingatkan PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya. Tidak mengumumkannya bisa dipidana.

Undang-Undang Pemilu memang sarat dengan ancaman pidana. Itu pertanda sulitnya menegakkan kejujuran.

Hemat saya, pileg (bukan pilpres) yang baru kita lalui yang hasilnya legal belum kita ketahui kian menegaskan betapa kita telah kehilangan kepercayaan untuk jujur. Yang terjadi di tingkat warga ialah pertandingan top up, yaitu adu besar memberi tambahan ‘wuwur’, tambahan politik uang agar warga memilih sang caleg

Saya pernah menulis di Podium ini, andainya benar, lebih banyak anak bangsa ini memilih status daripada integritas, kiranya masa depan negeri ini benar-benar tanpa harapan. Pada Pemilu 2019, frasa ‘andainya benar’ itu sudah tidak berlaku lagi. Kenapa?

Pemilu legislatif (juga pemilu kepala daerah) merupakan pemilu yang semakin jorok karena dahsyatnya politik uang. Dalam dua pemilu itu sesungguhnya dan senyatanya demokrasi telah kehilangan masa depan.

Karena itu, kiranya perlu keberanian untuk melakukan bermacam-macam evaluasi, dalam makna yang keras, yaitu menyaring dan membuang. Pertama, barangkali orang cukup memilih partai saja. Tidak ada nama caleg dalam surat suara. Daftar caleg cukup diumumkan di TPS dan penentuan yang duduk di parlemen diserahkan kepada partai.

Harapannya partai yang tidak dipercaya, yang calegnya tidak bermutu, tidak dipilih rakyat. Kiranya adu besarnya ‘wuwur’, adu top up uang yang dilakukan caleg lenyap.

Kedua, cara penggunaan hak pilih secara manual, dilanjutkan penghitungan suara pun secara manual dan dilakukan berjenjang perlu digantikan dengan cara elektronik yang real time. Pencoblosan dan penghitungan suara secara manual tidak saja punya banyak celah untuk terjadinya kecurangan, tetapi juga kehilangan aktualitas karena panjangnya jarak waktu hari pencoblosan dengan hari pengumuman hasil pemilu (real count).

Untunglah ada metode hitung cepat yang dikerjakan lembaga-lembaga survei tepercaya. Hasilnya aktual memuaskan rasa ingin tahu publik akan hasil pemilu.

Ketiga, pilpres serentak dengan pileg terasa benar merepotkan rakyat dalam memilih dan membikin petugas amat keletihan. Yang juga pokok ialah pilpres menggeser makna pileg. Padahal, pileg juga penting karena di situlah rakyat di satu pihak menyaring dan menyingkirkan partai, atau di lain pihak memperkuat dan membesarkan partai yang baik dan patut diberi kepercayaan untuk mendapat kursi di parlemen.

Sepertinya tidak ada partai baru yang lolos ambang batas parlemen. Partai lama pun ada yang terbuang dari kumpulannya. Terjadi penyaringan dan penyingkiran. Ada harapan penyederhanaan jumlah partai bakal terjadi dua atau tiga pemilu lagi sehingga tinggal tujuh partai saja.

Yang jelas dengan terpilihnya Jokowi akan ada kesinambungan kepemimpinan beserta seluruh hasil kerjanya.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.