Banyak Menemukan Senja
TAHUN ini ditutup dengan ajakan Presiden Jokowi berlibur di dalam negeri. Lebih spesifik lagi, dia mengajak kita menjajal Tol Trans-Jawa yang menghubungkan Jakarta-Surabaya.
Dalam bahasa yang puitis, menurut Presiden, masyarakat akan ‘banyak menemukan senja’ di tol yang membentang 760 kilometer (km) itu, dan pemandangan yang membuat mata tidak bisa berkedip.
Banyak menemukan senja’ kiranya ajakan yang bukan hanya mengundang imajinasi untuk menjajalnya, melainkan juga ajakan untuk di akhir tahun ini kita mengubur masa lalu yang suram, yaitu jalur pantai utara Jawa yang berlubang, macet, karena itu melelahkan dan menjengkelkan.
Sebagai presiden, Jokowi bukan hanya meresmikan tol itu. Ia pun menjadikan dirinya sebagai warga biasa. Ia singgah di rest area kilometer 597 ruas Tol Ngawi-Kertosono. Di situ dia menikmati pecel Madiun, satai Ponorogo, dan kopi lokal.
Sekitar tiga tahun ini sebagian hidup saya berada di Jawa Tengah. Mokhamad Arif Solikhin ialah sopir profesional yang berpengalaman delapan tahun yang selama ini membawa kami. Kemarin dengan penuh gembira ia melaporkan secara digital bahwa dengan kecepatan rata-rata 83 km/jam Tegal-Semarang ditempuhnya hanya 1 jam 40 menit. Ia tiba di rumahnya di bilangan Srondol Wetan, Banyumanik, Kota Semarang, 1 jam 59 menit lebih cepat.
Kegembiraan Mokhamad Arif Solikhin itu mengekspresikan kegembiraan rakyat sebuah negara yang telah merdeka lebih 73 tahun, yang sepertinya baru sekarang merdeka. Pernyataan itu merupakan pengakuan dan kejujuran karena yang dibangun Jokowi bukan hanya Trans-Jawa, melainkan juga Trans-Sumatra, Trans-Sulawesi, dan Trans-Papua. Sampai akhir Oktober 2018, Jokowi membangun 3.432 km jalan nasional dan 941 km tol.
‘Sepertinya baru sekarang merdeka’ kiranya bukan pernyataan dramatisasi, membesar-besarkan. Baiklah kita membuka kembali fakta sejarah bahwa pembangunan jalan terpanjang terjadi pada masa penjajahan Belanda, di masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Itulah jalan di pantai utara Jawa, panjangnya 1.000 km, dari Anyer sampai Panarukan, yang tersohor dengan sebutan Jalan Daendels.
Pembangunannya dimulai 1808, menelan banyak sekali nyawa anak bangsa. Setelah itu, lebih 200 tahun tiada lagi pembangunan jalan yang semenjulang itu.
Infrastruktur kita selama ini dinilai buruk. World Economic Forum (WEF)’s Global Competitiveness Report 2015-2016, misalnya, menempatkan Indonesia pada peringkat ke-62 dari 140 negara, antara lain karena buruknya infrastruktur sebagai faktor utama.
Bahkan, gara-gara buruknya infrastruktur itu di zaman reformasi Indonesia gagal memacu pertumbuhan ekonominya sesuai potensinya. Ada penilaian kuat infrastruktur berhenti dibangun sejak Pak Harto tumbang.
Namun, kini penilaian itu keliru besar. Presiden Jokowi menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas kerja pemerintahannya. Bahkan, dia mengajak warga untuk membuktikannya sendiri, berlibur di akhir tahun dengan menjajal Tol Jakarta-Surabaya.
Itulah ajakan untuk banyak menemukan senja dan menikmati pemandangan yang membuat mata tidak berkedip.
Saya menafsirkannya itu ajakan untuk tidak terburu-buru sampai ke tujuan akhir. Sempatkanlah dari Jakarta masuk ke kota-kota yang dilintasi jalan tol di pantai utara itu, Tegal-Pemalang-Pekalongan-Batang-Kendal-Semarang. Besoknya sebelum melanjutkan perjalanan tol ke Surabaya, nikmatilah betapa terasa dekatnya Salatiga dan Surakarta. Bukan lagi kemewahan untuk memilih di kota mana Anda bermalam.
Demikianlah ajakan Presiden Jokowi untuk banyak menemukan senja ialah ajakan untuk bersyukur. Bersyukur untuk tahun yang telah kita lalui bersama, dan dengan bersyukur pula 2019 akan kita lalui bersama dengan keyakinan bahwa Indonesia bakal menjadi lebih baik.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.