Di Bawah Langit yang Sama
SEBUAH kota kiranya rumah bersama. Orang hidup di bawah langit yang sama. Udara yang bersih dihirup bersama, udara kotor sesak napas bersama.
Terhadap kota kian banyak predikat disematkan. Ada kota kreatif, misalnya, ada kota cerdas.
Gagasan kota kreatif antara lain dikembangkan Charles Landry. Tiap orang berpotensi kreatif, tetapi struktur organisasi, kebiasaan berpikir, dan kebiasaan orang dalam mengerjakan sesuatu dapat membuat beku. Kreativitas terhambat mengalir keluar.
Katanya kebiasaan perencanaan kota cenderung dilandasi tertib berpikir sains, diperintah logika. Ketertiban itu dapat membuat kota kehilangan ‘rasa’, kehilangan ’emosi’, kehilangan ‘selera’.
Perencana kota dan politisi pengambil kebijakan publik umumnya terkurung lebih menyukai solusi ‘maskulin’. Contohnya, penataan ulang kota dalam skala besar.
Pendekatan yang ‘feminin’ lain hasilnya. Contohnya, Kota Helsinki yang menerapkan pendekatan lunak yang tampak dalam berbagai hal, antara lain gedung dan transportasi publik dengan standar tinggi, fasilitas bagi disabilitas, tersedianya penitipan bayi, penghargaan kultural kepada minoritas Swedia, harmonisasi perumahan baru dengan lingkungan alam, keterbukaan pada inisiatif organisasi internasional, serta senang dengan irama hidup kota yang lamban.
Ada pula kota sang pemimpin pada zamannya. Inilah kota yang mentransformasi kehidupan melalui kemajuan teknologi. Manchester memimpin di akhir abad 18, sebagai contoh murni kota pertama lahirnya revolusi industri di Inggris. Berlin di pertengahan abad 19 ialah kota yang mendorong pengembangan pendidikan teknik bermutu tinggi, baik untuk keperluan ekonomi maupun perang. Sir Peter Hall dalam bukunya Cities in Civilization bahkan menjuluki Berlin sebagai Silicon Valey saat itu.
Detroit di peralihan abad 20 mewakili sebuah pola sejarah ekonomi Amerika. Detroit bukan tempat pertama kali otomobil diciptakan, melainkan di kota itulah Henry Ford menciptakan produksi massa untuk pasar massa. Los Angeles dan San Francisco Bay Area pemimpin di abad 20. Kita tahu inilah Slicon Valey saat ini, pusat kerajaan industri digital.
Di zaman media digital kota merupakan ‘interface’. Menurut Martijn de Waal, penemu konsep City as Interface, media digital mengonstruksi definisi ruang publik yang baru, yaitu kota yang terbuka, yang merupakan democratic ‘community of strangers’.
Kota menjadi ‘komunitas orang-orang asing’ yang demokratis. Dalam kata ‘demokratis’ terkandung makna ‘toleran’, yaitu kemampuan menghormati perbedaan, kemampuan hidup rukun dan damai dalam satu komunitas, sekalipun berbeda agama, suku, gender, asal-usul, bahkan asing satu dengan yang lain.
Berkat media digital kota-kota kita pun soal waktu saja berubah menjadi ‘komunitas orang-orang asing’. Persoalan timbul jika ‘komunitas orang-orang asing’ itu menjadi komunitas yang antidemokrasi, yang tidak toleran.
Hemat saya, dalam perspektif itulah publik perlu mengapresiasi upaya tanpa lelah yang dilakukan Setara Institute menunjukkan 10 kota paling toleran dan 10 kota paling tidak toleran di Indonesia.
Hasilnya untuk 2018, Surabaya satu-satunya kota besar yang termasuk dalam 10 kota paling toleran, sedangkan tiga kota besar lainnya, yakni Jakarta, Makassar, dan Medan, termasuk 10 kota yang paling tidak toleran.
Bila tidak berubah, suatu hari di masa depan, bayangkan betapa seramnya Jakarta, Makassar, dan Medan. Ketika itu, berkat media sosial kota-kota itu menjadi kota-kota interface, tetapi di dalamnya berpenghuni anak-anak bangsa yang merupakan komunitas orang-orang asing yang tidak toleran.
Belum terlambat kota-kota di negeri ini dibenahi agar menjadi rumah bersama yang demokratis, warga hidup toleran dalam satu komunitas besar, di bawah langit yang sama.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.