Separatisme Catalonia
SEBAGAI penggemar Barcelona, terus terang saya kerap tergelitik pertanyaan, ke manakah klub itu akan bergabung bila Catalonia merdeka memisahkan diri dari Spanyol? Pertanyaan itu kian menggelitik terlebih karena pada pemilu regional tiga pekan lalu (21/12) partai-partai prokemerdekaan Catalonia total meraih 70 dari 135 kursi parlemen.
Catalonia terlalu sempit untuk Barca yang besar. Akan tetapi, ke mana mereka bergabung untuk berlaga? Manajer Arsenal Arsene Wenger menyatakan menolak Barcelona bergabung di Liga Inggris. Semula saya sulit mengerti bahwa seorang yang dibahasakan sebagai profesor seperti Wenger berpikiran tertutup.
Namun, sekarang menilik kehebatan Manchester City saya paham, kenapa Wenger menolak kehadiran Barcelona. Sampai awal pekan ini, di musim ini City di bawah asuhan mantan Manajer Barcelona Pep Guardiola tidak terkalahkan dalam 22 pertandingan. Publik penggemar Liga Inggris bisa menyaksikan Pep mengenakan lambang prokemerdekaan Catalonia di dada kirinya.
Dia pendukung berat Catalonia berpisah dari Spanyol. Barcelona sendiri membahasakan dirinya ‘Mes que un club’, lebih daripada sebuah klub, yakni catalanisme. Pertanyaannya, apa yang menghidupi catalanisme itu? Raphael Minder, koresponden The New York Times untuk Spanyol dan Portugal, menjawabnya dalam bukunya yang terbaru, The Struggle for Catalonia (Hurst & Company, London, 2017, tebal 355 halaman).
Sedikitnya ada tiga kekuatan besar yang menghidupi perjuangan Catalonia memisahkan diri dari Spanyol. Pertama, di Catalonia sepak bola dan politik tidak pernah terpisah. Bahkan, klub sepak bola Barcelona merupakan senjata nonmiliter Catalonia. Selain mutu pertandingan berkelas dunia, Barca versus Real Madrid ialah pertarungan yang mewakili aspirasi prokemerdekaan melawan pusat.
Tidak mengherankan jika El Clasico dramatik dan atraktif. Kedua, peranan bahasa. Raphael Minder menemukan bahwa tidak ada yang memberi identitas kuat orang Catalan lebih daripada bahasa mereka. Mereka ekstrem membela bahasa Catalan menjadi satu-satunya bahasa resmi di Catalonia.
Akan tetapi, ‘Dalam berbagai pertemuan, saya tidak pernah merasa terasing berada di satu meja dengan mereka, karena seketika mereka berubah berbahasa Spanyol Castilian karena saya tidak berbahasa Catalan’, tulis Raphael Minder.
Ketiga, peranan media.
Polarisasi politik Spanyol nyata terlihat di media. Tiap media punya ideologi, tetapi surat kabar El Punt Avui menyebut dirinya berideologi lebih jelas dan lebih transparan. Pada 20 November 2011, Mariano Rajoy terpilih sebagai Perdana Menteri Spanyol. Fakta itu menjadi berita di halaman depan. Rajoy terpilih, tetapi kalah di Catalonia.
El Punt Avui tidak mengambil kemenangan itu sebagai sudut pandang pemberitaan, melainkan kekalahan Rajoy, dengan memberinya frame lebih besar. Koran itu menurunkan kepala berita berjudul ‘Catalonia bukan Spanyol’. PM Rajoy hingga sekarang bertindak sangat keras terhadap para pemimpin Catalonia yang prokemerdekaan.
Sebaliknya, kendati separatisme Catalonia merupakan agenda politik yang panas, ketika pada 10 Januari 2016 Carles Puigdemont terpilih menjadi Presiden Catalonia, tidak satu pun televisi Spanyol mewawancarainya. Bahkan, Puigdemont sekarang dalam pelarian di Belgia menghindari penangkapan rezim Rajoy.
Pemilu regional Catalonia yang berlangsung tiga pekan lalu merupakan keinginan PM Rajoy. Hasilnya, di luar harapannya, prokemerdekaan unggul. Kata Puigdemont dari pelariannya di pusat Uni Eropa, hasil pemilu itu tamparan ke muka Rajoy. Pernyataannya ‘Slap in the face for Rajoy’ dikutip menjadi judul berita di berbagai media internasional.
Sampai kapan gairah memperjuangkan Catalonia merdeka bertahan atau malah kian kencang berlanjut? Raphael Minder menutup bukunya dengan menjawab pertanyaan itu menggunakan faktor demografi, yaitu orang muda yang tinggal di luar negeri. Sebagai ilustrasi, ia menginterviu Marc Blay, seorang Catalanian muda yang setelah lulus dari Universitas Pompeu Fabra di Barcelona mulai bekerja di Amsterdam.
Sekalipun bisa mencoblos secara online, pada Pemilu 9 November 2014 Blay memutuskan berangkat ke Brussels. Di situ, di kantor perwakilan Catalonia di Uni Eropa, ia antre 4 jam untuk memberikan pilihannya bersama sesama warga yang prokemerdekaan.
Anak muda itu menyadari bahwa suaranya tidak membuat Catalonia merdeka.
Namun, dia merasa telah menunjukkan gestur politik yang penting. Gestur pertanda bahwa api separatisme tetap membara. Buku yang dibicarakan ini enak dibaca, ditulis dengan kesetiaan bertutur seorang jurnalis yang pernah menjadi koresponden di Paris, Brussels, Sydney, Hong Kong, Spanyol, dan Portugal.
Kelemahannya ialah penulis buku langka beropini, juga karena kesetiaan memisahkan fakta dan opini.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.