Urusan Presiden

305

PANGLIMA TNI Jenderal Gatot Nurmantyo segera pensiun. Ketika ditanya siapa pengganti dirinya, ia menjawab, “Itu urusan Presiden.” Jawaban itu mengandung kebenaran, tetapi menurut undang-undang, tidak sepenuhnya benar. Mengangkat Panglima TNI bukan hanya urusan presiden, melainkan juga urusan DPR.

Justru di situlah salah satu kerepotan presiden, setelah reformasi. Banyak urusan presiden yang tidak dapat diurus sendiri, tapi diurus bersama DPR. Antara lain dua urusan, yaitu mengangkat Kapolri dan Panglima TNI. Jenderal Gatot pensiun Maret 2018. Jika pengangkatan Panglima TNI sepenuhnya urusan presiden, Jokowi bisa melakukannya pada 13 Maret 2018, tepat saat Gatot berumur 58 tahun.

Itu umur pensiun perwira TNI. Di satu pihak tidak terjadi kekhawatiran sehari pun jenderal purnawirawan menjadi Panglima TNI, di lain pihak tentu kado yang indah seorang Panglima TNI purnabakti pas di saat hari ulang tahun. Akan tetapi, berhubung mengangkat Panglima TNI juga urusan parlemen, presiden tidak punya kemewahan waktu untuk memberikan kado indah itu.

Presiden tidak bisa menentukan jadwalnya sesuai dengan irama kerja seorang presiden yang bernama Jokowi, yang ‘tidak punya udel’ itu. Presiden harus ikut jadwal kerja DPR yang punya masa sidang, punya masa reses. Masa sidang DPR tahun ini tinggal 13 hari kerja, hari ini sampai 13 Desember 2017.

Selebihnya masa reses 14 Desember 2017 sampai 8 Januari 2018. Jika Presiden mengajukan nama calon Panglima TNI pada masa reses, DPR tidak akan membahasnya. DPR sangat patuh kepada ketentuan itu. Yang tidak tercantum dalam tata tertib ialah bahwa anggota DPR lebih enjoy reses ketimbang bersidang.

Presiden mengusulkan satu orang calon Panglima TNI. Hanya satu orang. Paling lambat dalam 20 hari tidak termasuk masa reses, DPR menyampaikan persetujuan mereka. Dalam hal DPR tidak menyetujui calon tersebut, Presiden mengusulkan satu orang calon lain. Apabila DPR tidak menyetujuinya, DPR memberi alasan tertulis.

Apabila DPR tidak memberikan jawaban tertulis, DPR dianggap telah menyetujui. Semua itu termaktub dalam UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Jelaslah bukan urusan presiden saja mengangkat Panglima TNI. DPR bahkan berwenang menolak calon Panglima TNI yang diajukan presiden.

Karena itu, muncul pendapat agar presiden lebih cepat mengajukan nama calon panglima TNI, dalam awal Desember. Membahasakannya sebagai ‘urusan presiden’ tentu berbeda dengan menjawabnya sebagai ‘hak prerogatif presiden’. Namun, apa pun jawaban yang dipilih Jenderal Gatot mengenai perkara itu bukan jawaban yang sepenuhnya benar.

Kenapa? Karena reformasi membuat presiden praktis tidak lagi memiliki hak prerogatif dalam mengangkat Panglima TNI, tidak pula sepenuhnya menjadi urusan presiden. Di lain pihak reformasi tidak memberi kata putus bahwa merupakan mandatori bagi presiden agar tiap kepala staf angkatan bergantian menjadi Panglima TNI.

UU TNI memberi kelonggaran kepada presiden yang dibungkus dalam bahasa yang luwes, yaitu ‘dapat dijabat secara bergantian’. ‘Dapat’ tetapi tidak ‘harus’. Hal itu kiranya menunjukkan reformasi yang hendak diekspresikan dalam UU TNI merupakan reformasi tanggung-tanggung. Presiden dapat membuat jabatan itu kembali diisi Kepala Staf Angkatan Darat, seperti di masa Presiden Soeharto.

Dapat, bergantung pada kearifannya, membuatnya bergantian atau tidak. Kiranya kearifan presiden itu tetap berpegang teguh kepada prinsip bahwa politik TNI ialah politik negara, bukan politik praktis. Dalam prinsip itu, jabatan Panglima TNI tidak ada urusan kausalitas dengan terwujudnya poros maritim sehingga hendaknya Panglima TNI dari Angkatan Laut.

Juga, tidak ditentukan faktor bahwa kita memasuki tahun-tahun politik sehingga presiden terdorong atau didorong untuk kembali kepada paradigma lama, yaitu memilih Panglima TNI dari Angkatan Darat. Itu berarti untuk tiga masa jabatan, sejak Jenderal Moeldoko. Dua masa jabatan berturut-turut lebih dari cukup.

Sekali lagi semua itu bukan cuma urusan presiden, melainkan juga urusan DPR. Sekali lagi bagaimana kalau DPR tidak menyetujuinya? Sekali lagi hal itu dapat merepotkan presiden. Hemat saya, menggunakan hak ialah hak, tidak menggunakan hak juga hak.

Sekalipun DPR berhak, dalam perkara ini sebaiknya DPR melepaskan hak politik mereka. Dengan demikian, sempurnalah semua itu urusan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, bukan dipilih MPR.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.