Politik Supel Puan Maharani

0 23

KIRANYA kian jelas perbedaan gaya berpolitik Puan Maharani dengan ibundanya, Megawati Soekarnoputri. Puan mengambil jalan ‘bersahabat’ dengan kekuasaan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, sedangkan Megawati mengambil jalan, ‘saya di sini, Prabowo di sana’.

Ekspresi puncak sikap Megawati untuk sementara ini tergambarkan lewat suratnya yang memerintahkan para kepala daerah kader PDIP untuk menunda perjalanan yang akan mengikuti retret di Magelang. Bagi yang telah dalam perjalanan menuju Kota Magelang untuk berhenti menunggu arahan lebih lanjut dari ketua umum.

Publik tidak tahu apa arahan lebih lanjut Megawati. Yang publik tahu Gubernur Jakarta Pramono Anung, tokoh pusat yang berkomunikasi dengan Megawati, faktanya mengikuti retret yang dilaksanakan di Akademi Militer itu. Sebuah pertanda yang kiranya dapat dibaca bahwa Megawati akhirnya ‘mengizinkan’, sekalipun belum bermakna ‘merestui’.

Di tengah suasana psike politik Megawati itu, Puan Maharani mengekspresikan kebatinan politik yang kontras. Puan hadir dalam peluncuran Danantara oleh Presiden Prabowo di Jakarta, Senin (24/5).

Bahkan, pada kesempatan itu, dia spontan berinisiatif menghampiri dan menyalami Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY serta Joko Widodo (Jokowi)—dua mantan presiden yang masuk daftar negatif Megawati. Sebelumnya hanya SBY seorang. Setelah Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, bertambah Jokowi masuk ke daftar itu.

Sehari kemudian (25/5), Puan menghadiri penutupan Kongres Partai Demokrat yang ditutup dengan pidato Presiden Prabowo. Dalam acara itu, Puan duduk di deretan paling depan. Sebaris berurutan SBY, Wakil Presiden yang juga putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, putra SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Puan, dan Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas.

Puan tampaknya lebih mewarisi genetik politik ayahnya, Taufiq Kiemas. Politik luwes, supel, bersahabat. TK memilih jalan saling menghormati dengan SBY, sedangkan Megawati tak bertegur sapa dengan SBY.

Pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2009, SBY terpilih kembali menjadi Presiden RI, mengalahkan Megawati, untuk kedua kali. Bahkan, Partai Demokrat di bawah kendali SBY menjadi pemenang pemilu (148 kursi di DPR), sedangkan PDIP tergeser ke nomor tiga (94 kursi), setelah Golkar (107 kursi).

Berdasarkan perolehan kursi tersebut, posisi Ketua MPR RI seyogianya diisi Golkar. Akan tetapi, berkat pengaruh SBY sebagai presiden, serta hubungan yang saling menghormati antara SBY dan TK, berbuah manis Taufiq Kiemas dari PDIP yang menjadi Ketua MPR RI. TK mengemban jabatan itu, sejak 2009 sampai meninggal pada 2013.

Sikap Megawati menunda perjalanan kepala daerah kader PDIP ke Magelang dipicu penahanan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto oleh KPK yang dinilainya sebagai kriminalisasi hukum. Sebuah penilaian yang dapat diperdebatkan. Terlepas dari kasus Hasto, sikap Megawati itu dapat berefek samping, terbaca sebagai kontrol awal terhadap gejala dini menguatnya politik ‘sentralisasi’ di bawah komando Prabowo. Mumpung masih gejala awal, perlulah ‘diingatkan’ pentingnya ‘desentralisasi’, produk reformasi.

Apakah Megawati berlanjut mengambil posisi oposisi? Checks and balances baik bagi demokrasi dan bukan pula masalah bagi Prabowo yang didukung tujuh dari delapan partai, total 470 kursi DPR. Dukungan sangat kuat 81%.

Perbedaan gaya berpolitik itu perkara yang terbaca ‘di luar’. Apa pun kesepahaman ‘di dalam’, antara ibu yang ketua umum dan anak yang ketua partai, menyenangkan melihat Puan Maharani, Ketua DPR RI, hadir di panggung depan, berpolitik dengan supel, bersahabat.

Leave A Reply

Your email address will not be published.