Pertanyaan untuk Menteri Erick Thohir
BANYAK kebijakan Menteri BUMN Erick Thohir yang dapat dimengerti publik. Akan tetapi, rupanya ada juga kebijakannya yang tak dapat dipahami. Bahkan, tak dapat dimengerti akal sehat sehingga perlu ditanyakan.
Erick kiranya orang yang konseptual disertai berkemampuan berpikir cepat dan cepat pula bertindak. Itu tiga kualitas pokok untuk menghasilkan efisiensi dan efektivitas.
Tiga kualitas itu perlu ditambahkan satu kualitas lagi. Dirinya pencinta sport dengan keberanian langka dimiliki anak bangsa ini. Dia membeli Inter Milan. Bahwa dia membeli Inter, bukan rival sekota AC Milan, jelaslah menunjukkan Erick punya ‘selera’. Sejarah Inter ialah klub sepak bola ‘kerah putih’ dan borjuis, sedangkan sejarah AC Milan ialah klub ‘kerah biru’.
Buah semua kualitas itu, yang pertama kali diketahui public, ialah keberhasilan Erick sebagai Ketua Panitia Pelaksana Asian Games 2018. Inilah kinerja yang membuka pintu kepercayaan politik. Jokowi mengangkatnya menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin. Dan kita tahu Jokowi-Ma’ruf Amin menang pilpres. Erick kemudian diangkat sebagai Menteri BUMN.
Erick minta tiga wakil menteri. Alasannya, sangat masuk akal. Ada 142 BUMN yang harus diurus. Rentang kendali bisa kedodoran. Jokowi memberi dua wakil menteri, semuanya berasal dari satu almamater, Bank Mandiri.
Erick mencanangkan konsep ekosistem. Dia mengevaluasi program yang diwariskan Rini Soemarno, Menteri BUMN sebelumnya. Satu di antaranya rencana pembangunan gedung arsip untuk BUMN. Pikiran yang telah ketinggalan zaman. Kini zaman milenial dan digital. Era paperless. Era i-cloud. Tidak diperlukan gedung arsip BUMN.
Alih-alih membentuk superholding BUMN, Erick berkeputusan melakukan merger BUMN sejenis. Tiga bank syariah besar digabung menjadi cukup satu bank syariah. Enam BUMN pangan digabung menjadi tiga BUMN pangan. Dari dua contoh ini saja sudah lima BUMN tutup akibat merger.
Erick menemukan 70 BUMN tidak beroperasi sejak 2008. Masa masih dipertahankan? Erick menutupnya. Semua itu keputusan yang bukan hanya dapat dimengerti, melainkan juga layak dipujikan.
Sampai Senin (6/12) lalu, saya bertemu kenyataan yang bikin cacat pujian itu. Kami menginap di Hotel Khas Tegal. Hotel itu semula bernama Hotel Pesonna. Perubahan itu mengundang rasa ingin tahu. Ada apa? Ya, ampun ternyata tak hanya namanya berubah. Kepemilikan pun berubah. Semula milik PT Pesonna Indonesia Jaya, anak perusahaan PT Pegadaian, sekarang milik WIKA Realty, anak perusahaan konstruksi PT Wijaya Karya. Saya membaca di sebuah dinding, tertulis di situ, ‘Managed by HIG’. Dikelola oleh Hotel Indonesia Group. Jika toh dikelola HIG, kenapa pula harus terjadi perubahan kepemilikan? Apakah BUMN jasa seperti PT Pegadaian tidak boleh punya perusahaan jasa perhotelan? Apakah hanya BUMN konstruksi yang boleh? Buktinya, PT Adhi Karya tak diotak-atik punya Hotel GranDhika.
Sejujurnya, saya bersyak wasangka. Apakah PT Wijaya Karya barangkali ‘cemburu’ dengan PT Adhi Karya dan mampu melobi/merayu Menteri Erick untuk mengambil alih Hotel Pesonna? PT Pegadaian dalam posisi inferior. Dia tak mampu berhadapan dengan Menteri Erick Thohir untuk menyetop gairah PT Wijaya Karya mencaplok anak usahanya, Hotel Pesonna.
Terus terang, saban kali saya melihat Hotel Pesonna di Pekalongan, Tegal, Semarang, Yogyakarta, saya seperti melihat kejelian bisnis PT Pegadaian dalam mengoptimalkan lahannya di jalan utama, di berbagai kota, menjadi Hotel Pesonna. Rumah gadai miliknya yang besar di jalan strategis pindah ke ruko mendekati konsumen. Mereka melakukan diversifikasi jasa di tengah bermunculannya ‘rumah-rumah gadai’.
Sekarang kejelian itu dikubur dalam-dalam oleh Menteri Erick Thohir dan dengan gampang kepemilikannya beralih menjadi harta WIKA Realty. Ada apa Pak Menteri?