Jenderal Gatot
BAIKLAH sejujurnya saya katakan, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, sepertinya kepingin menjadi presiden. Apakah ada yang keterlaluan di situ? Dari kedudukannya sebagai panglima TNI, berkeinginan menjadi presiden, kiranya bukan impian yang terlalu tinggi. Bandingkanlah dengan seorang pedagang mebel di Solo, yang kemudian menjadi presiden. Bedanya teramat jauh. Akan tetapi, Jokowi tidak pernah bermimpi menjadi presiden, nyatanya malah menjadi presiden.
Apakah Gatot akan sampai menjadi presiden? Sejauh ini tidak ada trajectory yang dapat dijadikan rujukan untuk menjadi presiden. Bung Karno menjadi presiden tak dapat diulangi oleh siapa pun, karena tak ada di antara kita yang kepingin dijajah kembali, lalu terbuka kemungkinan untuk menjadi proklamator.
Celakalah mereka yang ingin Indonesia dijajah kembali, untuk kemudian berpidato di pengadilan kolonial, Indonesia Menggugat. Celakalah juga orang yang menginginkan terjadi kembali peristiwa seperti 30 September 1965, sehingga terkuak munculnya seorang jenderal, The Smiling General, yang bahkan menjadi presiden 32 tahun. Siapa pula yang kita izinkan untuk meniru berkuasa seperti itu dan selama itu, lalu ditumbangkan setelah enam kali dipilih kembali menjadi presiden di masa Orde Baru?
Seorang Habibie hanya menjadi presiden akibat tumbangnya Pak Harto. Sebuah kenyataan sejarah, pertanggungan jawabnya sebagai presiden ditolak MPR. Siapa yang bisa membantah bahwa Gus Dur menjadi presiden lebih merupakan keberuntungan sejarah? Akan tetapi, ketika dia ditumbangkan MPR, kenyataan itu tak boleh disimpulkan sebagai kemalangan sejarah. Tumbangnya Gus Dur dan naiknya Megawati menjadi presiden memperkuat riwayat di puncak ketatanegaraan berisi tragedi. MPR ialah lembaga tertinggi negara yang kerjanya menumbangkan presiden. Itu menimpa Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur. Cukup sampai di situ.
Setelah presiden dipilih langsung oleh rakyat, sesungguhnya MPR kehilangan legitimasi moral politik untuk menumbangkan presiden. Barang siapa berpikir untuk menumbangkan presiden, termasuk dengan bahasa gagah berani people power, baiklah yang bersangkutan menimbang dirinya, tidakkah gerangan telambat lahir?
Amien Rais tergolong lahir tepat waktu. Akan tetapi, Amien Rais pun gagal menjadi presiden. Kini saya percaya impiannya untuk menjadi presiden telah terkubur dalam-dalam.Tentu saja saya dapat berspekulasi, seandainya Megawati tidak mengangkat kembali SBY menjadi menkopolkam, yakni setelah Gus Dur menyingkirkannya dari kabinet, barangkali biografi SBY berisi perjalanan hidup yang berbeda. Akan tetapi, kajian berwatak post-factum macam itu tidak banyak gunanya. Dibolak balik dari segala arah, trajektori untuk menjadi presiden RI tetap saja perjalanan yang tak terpetakan.
Yang sudah pasti hanya partai politik atau gabungan partai politik yang punya kursi di DPR yang punya hak konstitusional untuk mengusung calon presiden. Deklarasi KAMI di Tugu Proklamasi terlalu dini untuk dinilai, apakah bakal layu sebelum berkembang. Kiranya bukan kesimpulan kepagian untuk mengatakan bahwa dia bukan kendaraan untuk siapa pun menjadi presiden. Seandainya pun dia menjadi partai politik, lalu berhasil duduk di DPR hasil Pemilu 2024, baru pada Pilpres 2029, dia dapat turut mencalonkan presiden. Untuk sementara paling menjadi penggembira.
Tentu saja seorang warga negara bernama Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo berhak membayangkan dirinya menjadi presiden. Semoga itu baik bagi kesehatannya. Sebaliknya, saya pun sebagai warga negara pembayar pajak, berhak memiliki bayangan, tentang seorang mantan Panglima TNI yang dengan jiwa kejuangannya menjaga dan memelihara dirinya sebagai seorang perwira yang layak diteladani.
Ada perbedaan serius menjadi menteri dibanding menjadi Panglima TNI. Menjadi menteri ialah kedudukan yang sepenuhnya diangkat presiden. Statusnya pembantu presiden. Menjadi Panglima TNI setelah mendapat persetujuan DPR. Sebuah posisi sangat terhormat mendapat mandat dari negara, bukan semata dari pemerintah.
Apakah seorang mantan Panglima TNI berhak menjadi oposisi? Bukankah dia telah menjadi warga negara (biasa)? Tentu saja dia berhak. Ketika seorang mantan Panglima TNI berbicara, bersuara, kiranya punya gaung yang berwibawa. Dia punya self-respect. Bukan malah menimbulkan penilaian, sang mantan panglima mengidap sindrom, setelah tak berkuasa. Seiring dengan penilaian itu, hilang rasa hormat.
Tak banyak mantan Panglima TNI yang dapat dipakai sebagai rujukan generasi penerus. Di antara yang sedikit itu ialah Jenderal LB Moerdani. Begitu selesai serah terima jabatan Panglima ABRI kepada Jenderal Try Sutrisno, Jenderal Benny langsung memberi hormat kepada Jenderal Try Sutrisno, mantan bawahannya.
Di dalam kabinet setelah Pemilu 1992, Pak Harto menyingkirkan Benny Moerdani. Penulis riwayat hidupnya, Julius Pour, memberi judul bukunya yang kedua, Benny: Tragedi Seorang Loyalis. Benny tersingkir, namun tak sepotong pun pernah di media masa meluncur kata-katanya mengkritik Pak Harto, terlebih suara seorang yang sakit hati. Benny contoh sejatinya seorang perwira. Gatot? Anda mungkin punya penilaian yang lebih bijak. Silakan.
#Politik #Pilpres 2024