Demokrasi Nasi Goreng
SETELAH pemilu usai, terutama pilpres, elite politik dapat berubah dalam memandang pemilih. Terlalu kasar untuk mengatakan habis manis sepah dibuang. Terlalu samar untuk bilang pemilih bukan lagi subjek, melainkan objek.
Harian ini Sabtu (27/7) mengangkat pandangan pakar yang mengatakan bersatunya koalisi pengusung Jokowi dengan oposisi baik di kabinet maupun di parlemen dengan membagi kursi Ketua MPR dan kursi menteri merupakan khianat kepada para pemilihnya. Demokrasi bukan nasi goreng yang perlu dibagi-bagi. Apakah sisi sebaliknya juga sama?
Kiranya juga sama. Partai oposisi bergabung dengan kekuasaan pun khianat kepada para pemilihnya. Pemilih mereka juga tidak menginginkan partai oposisi dan capres yang mereka pilih setelah kalah minta dibagi-bagi ‘nasi goreng’ dari kubu capres yang menang.
Nasi goreng makanan rakyat, tapi suara rakyat bukan senilai nasi goreng. Betapa pun enaknya nasi goreng, jangan perlakukan demokrasi sebagai nasi goreng.
Jokowi menang pilpres dengan selisih suara sangat besar. Partai pengusungnya pun meraih kursi mayoritas di parlemen. Apa alasan untuk bagi-bagi kursi di MPR dan di kabinet dengan oposisi seperti membagi-bagi nasi goreng?
Jokowi telah menjawab pertanyaan itu. Katanya, koalisi cukup. Jawaban mantap yang tidak khianat. Jawaban yang menghormati pemilihnya.
Setelah jawaban Jokowi itu jangan ada lagi partai dalam koalisi yang mengajak partai oposisi bergabung dalam pemerintahan Jokowi. Berhentilah bermanuver. Berhentilah, karena Jokowi tidak akan memperlakukan kekuasaan membagi-bagi kursi menteri seperti membagi-bagi nasi goreng.
Kekuasaan yang terlalu besar berpotensi eksesif. Karena itu, baiklah patuh kepada presiden terpilih, pemegang hak prerogatif, bahwa koalisi cukup.
‘Koalisi cukup’ bermakna tidak bertambah dan tidak berkurang. Selebihnya, di luar koalisi Jokowi ialah koalisi oposisi yang juga ‘cukup’ untuk tidak menjadi oposisi eksesif.
Tentu saja, turut berkuasa lebih enak daripada turut mengontrol kekuasaan. Seenak-enak oposisi yang seenaknya sekalipun lebih enak duduk di kursi kekuasaan. Apakah itu bagus bagi demokrasi?
Demokrasi bilang berbahaya kekuasaan tanpa checks and balances. Karena itu, yang kalah pilpres terimalah kekalahan itu dengan lapang dada dan terimalah ‘nasib’ 5 tahun lagi menjadi oposisi yang berwibawa sampai bertemu di Pilpres 2024 dengan peta capres yang berbeda.
Untuk itu, perlu dan penting memupuk kepercayaan rakyat. Jangan khianat kepada pemilih. Jangan menyakiti hati pemilih.
Kiranya jawaban Jokowi ‘koalisi cukup’ memberi batas tegas kepada siapa pun agar tidak terjadi khianat kepada pemilih, baik pemilih Jokowi maupun pemilih Prabowo.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.