Tinggalkan Pemilu Mata Duitan
TELAH bergema di ruang publik keinginan banyak kalangan agar pemilu serentak dievaluasi, bahkan dievaluasi dengan sangat keras. Sangat keras, yaitu kita berani menyaring, membuang, bahkan memisahkan kembali yang semula dipandang bagus dilaksanakan serentak.
Pemilu serentak menelan korban sedikitnya 272 petugas KPPS meninggal dunia akibat kelelahan. Fakta itu membuat kita prihatin. Sejujurnya harus dicari sang penyebab.
Untuk menjadi petugas KPPS, misalnya, negara tidak mewajibkan pemeriksaan kesehatan. Menjadi petugas KPPS sebuah tugas yang sedikit atau banyak membuat stres. Inilah stres yang berlangsung dalam tempo yang cepat dan padat.
Saya bukan dokter, tapi spekulatif izinkan saya berpandangan bahwa petugas KPPS meninggal karena kondisi fisik dan kesehatan mereka tidak cukup prima untuk mengurus pemilu serentak yang dinilai paling rumit di dunia. Dari sudut pandang itu tentu bukan pemilu serentak yang menjadi persoalan. Persoalan pada personalia. Kita perlu menyaring petugas KPPS lebih keras dan ketat dalam perkara kesehatan.
Itu pun belum cukup. Kita pun perlu menambah lebih banyak petugas KPPS sedemikian rupa sehingga sehari seorang petugas cukup bertugas maksimum 8 jam. Lalu tiba saatnya bergiliran dengan petugas yang lain. Demikianlah orang yang bertugas mengurus pemilu serentak dalam sehat dan segar. Apakah masalah selesai? Tidak.
Semua itu masalah teknis yang tidak langsung berurusan dengan masalah substansial, yaitu hak konstitusional rakyat. Yang substansial ialah begitu hebat suasana kebatinan pilpres membuat pileg terpinggirkan. Padahal pileg pun sangat penting karena di situlah warga memilih partai dan orang yang mewakilinya duduk di parlemen. Sebuah urusan yang ruwet karena begitu banyak partai dan demikian banyaknya caleg yang umumnya tidak dikenal rakyat.
Kalau dipikir mendalam, sekalipun seperti telmi (telat mikir) karena post factum, bukankah pilpres memilih eksekutif, sedangkan pileg memilih legislatif? Dua cabang kekuasaan yang terpisah dalam sistem ketatanegaraan kita. Akan tetapi, kenapa kita satukan dalam pemilu serentak? Bukankah lebih pas pilpres diselenggarakan serentak dengan pilkada, yaitu sama-sama dalam cabang kekuasaan eksekutif?
Evaluasi yang keras juga kiranya perlu dilakukan menyangkut dahsyat dan ganasnya politik uang. Pemilu membikin rakyat mata duitan. Katanya pemilu pesta demokrasi. Pesta kok enggak bagi-bagi duit? Betapa ironis, di banyak tempat petahana yang amanah sebagai wakil rakyat sekalipun, yang rajin ‘menyapa’ konstituennya, pun berkemungkinan tidak terpilih kembali tanpa main wuwur uang.
Karena itu, seperti telah saya kemukakan di forum ini, kita juga harus berani keras merombak agar dalam pileg yang dipilih rakyat partai saja. Reputasi partai dan nama caleg beserta rekam jejaknya menjadi faktor yang mendorong rakyat untuk memilih partai. Bukan adu besar dan top up politik uang.
Pencoblosan manual pun perlu terus dinarasikan agar ditinggalkan digantikan dengan pencoblosan elektronik. Prinsipnya, kurang lebih, di mana perbankan bisa punya ATM, di mana bisa e-banking atau m-banking, di situ pula prinsipnya pemilu elektronik dapat diselenggarakan.
Dapat diselenggarakan dalam dua hal sekaligus, yaitu pencoblosan maupun penghitungan suara. Investasi pemilu diarahkan pada infrastruktur berbarengan dengan investasi untuk mencerdaskan rakyat dalam urusan kemajuan teknologi digital sehingga antara lain warga melek media, mampu mandiri menolak bahkan melawan hoaks.
Sesungguhnya dan senyatanya berapa besar penghematan pemilu tanpa surat suara, tanpa kotak suara, tanpa berhari-hari menghitung suara, tanpa penyelenggara dan pengawas berlapis-lapis di TPS di seluruh pelosok Tanah Air sampai di KPU dan Bawaslu di Jakarta Pusat?
Semua itu tugas pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2019 untuk berani dengan keras mengevaluasi pemilu yang terang-terangan telah dirusak politik uang.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.