Bawaslu sebagai Saksi Partai

328

JUDUL itu seperti mengandung pikiran aneh. Padahal, keanehan itulah yang perlu dibuat nyata pada Pemilu 2019. Bangsa ini punya urusan besar menyangkut kejujuran sehingga perlu pengawasan. Bisakah kejujuran tegak dengan sendirinya? Jawabnya tidak. Buktinya di semua cabang kehidupan berbangsa dan bernegara perlu pengawasan, bahkan berlapis-lapis.

Dalam kenyataan yang terjadi memang sebaliknya, yaitu kecuranganlah yang dapat tegak dengan sendirinya. Bukan kejujuran. Itulah sebabnya pengawasan perlu dirumuskan dalam bahasa negasi, yaitu pengawasan dibutuhkan karena ketidakjujuranlah yang tegak dengan sendirinya.

Podium

Bawaslu sebagai Saksi Partai

Saur Hutabarat Dewan Redaksi Media Group – 22 October 2018, 05:30 WIB

JUDUL itu seperti mengandung pikiran aneh. Padahal, keanehan itulah yang perlu dibuat nyata pada Pemilu 2019. Bangsa ini punya urusan besar menyangkut kejujuran sehingga perlu pengawasan. Bisakah kejujuran tegak dengan sendirinya? Jawabnya tidak. Buktinya di semua cabang kehidupan berbangsa dan bernegara perlu pengawasan, bahkan berlapis-lapis.

Dalam kenyataan yang terjadi memang sebaliknya, yaitu kecuranganlah yang dapat tegak dengan sendirinya. Bukan kejujuran. Itulah sebabnya pengawasan perlu dirumuskan dalam bahasa negasi, yaitu pengawasan dibutuhkan karena ketidakjujuranlah yang tegak dengan sendirinya.

Padahal, nilai-nilai kejujuran terus ditanamkan, bahkan sepenuh hati dan jiwa. Kita tidak mendengar ada orangtua atau sekolah atau institusi yang menanamkan kecurangan, apalagi dengan sepenuh hati dan jiwa. Kenapa hasilnya di semua cabang kehidupan berbangsa dan bernegara kita perlu pengawasan?

Sebetulnya tidak elok berpandangan pesimistis terhadap perilaku manusia, khususnya manusia Indonesia, bahwa manusia Indonesia pada umumnya malingan, curangan, tidak dapat dipercaya sehingga perlu pengawasan di semua cabang kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, ada yang lebih pesimistis pengawas pun perlu diawasi.

Kiranya penilaian Mochtar Lubis tentang watak manusia Indonesia yang disampaikan di Taman Ismail Marzuki 41 tahun lalu masih relevan. Katanya, manusia Indonesia punya enam sifat, yakni munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, jiwa feodal, percaya takhayul, artistik, watak yang lemah.

Tiga dari enam sifat itu (munafik, tidak  bertanggung jawab, watak yang lemah) kiranya masih bercokol membuat untuk tegaknya kejujuran diperlukan pengawasan berlapis-lapis. Tidak mengherankan salah satu yang termahal di negeri ini ialah ongkos pengawasan. Contohnya, untuk Pemilu 2019, Bawaslu menelan anggaran negara Rp8,6, triliun, melonjak menjadi dua kali lipat lebih jika dibanding Pemilu 2014 yang menelan biaya Rp4,12 triliun.

Hal yang baru yang penting yang menelan biaya cukup besar dalam pengawasan pada Pemilu 2019 ialah untuk pertama kali Bawaslu punya seorang pengawas TPS seluruh Indonesia. Pengawas TPS itu dialokasikan mendapat honor Rp500.000. Di seluruh Indonesia ada sekitar 805.068 TPS sehingga total menelan anggaran negara mencapai Rp402,5 miliar lebih.

Apa perlunya Bawaslu punya kaki dan tangan seorang pengawas TPS di seluruh Indonesia? Jawabnya sama karena kejujuran tidak dapat tegak dengan sendirinya sehingga perlu ditegakkan dengan hadirnya pengawas di TPS. Bukankah penyelenggara pemilu dan peserta pemilu dapat berbuat tidak jujur di TPS?

Kehadiran pengawas TPS yang dibiayai negara itu menimbulkan pertanyaan lain, apa perlunya pada Pemilu 2019 partai politik punya saksi di TPS? Lebih parah lagi, apa perlunya partai politik punya saksi di TPS yang juga dibiayai APBN? Partai perlu punya saksi di TPS karena siapa menjamin kejujuran terwujud tanpa ada saksi di TPS?

Namun, berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pada Pemilu 2019 ada pengawas TPS yang dibiayai negara. Apakah partai masih perlu punya saksi di TPS? Hemat saya baiklah partai mengambil inisiatif membuat semacam MoU dengan Bawaslu yang isinya menyatakan partai tidak punya saksi di sejumlah TPS tertentu dan karena itu sepenuhnya percaya kejujuran di TPS itu dapat ditegakkan karena ada pengawas TPS.

Sekali lagi sepertinya pikiran aneh menjadikan Bawaslu sebagai saksi partai di TPS. Namun, itu keanehan yang perlu dibuat nyata pada Pemilu 2019. Justru aneh, punya pengawas TPS yang dibiayai negara, tapi partai yang turut membuat undang-undang pemilu yang mengatur perlunya pengawas TPS malah tidak percaya pada sang pengawas.

Percaya kepada pengawas TPS merupakan eksperimen besar pada kejujuran Bawaslu. Harga yang mahal dari segi moral ataupun keuangan negara. Bisakah 805.000 lebih manusia Indonesia yang diseleksi dan dilatih Bawaslu itu dibentuk menjadi manusia yang dapat dipercaya? Apakah anggaran negara Rp400 miliar lebih untuk honor mereka sia-sia karena ternyata kejujuran tidak dapat ditegakkan Bawaslu di TPS? Jika itu yang terjadi, cukuplah sekali pada Pemilu 2019 ada pengawas TPS, selanjutnya cabut dia dari undang-undang pemilu.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.