Pilpres sebagai Ekspresi Dignity
Dalam pilpres satu kata yang seperti daya magis ialah kata ‘damai’. Sabtu (22/9) lalu, sehari setelah penentuan nomor urut pasangan calon presiden-wakil presiden, headline sejumlah surat kabar menjadikannya substansi terpokok.
Harian ini misalnya menurunkan kepala berita berjudul ‘Jokowi dan Prabowo Serukan Pemilu Damai.’ Lalu disertai dengan semacam editorializing, ‘Ajakan kedua calon pemimpin yang menginginkan ajang Pilpres 2019 tidak memecah belah bangsa harus tercermin hingga ke akar rumput’.
Harian Kompas pun menurunkan kepala berita yang senada. Judulnya ‘Kampanye Damai Jadi Komitmen’. Harian itu juga memberi semacam tajuk, ‘Kini yang dibutuhkan adalah upaya untuk menjaga agar komitmen itu tidak diingkari’.
Ada dua anak-pikiran yang dikedepankan dua surat kabar itu. Pertama, ‘damai hingga ke akar rumput’ dan kedua, ‘komitmen damai itu tidak diingkari’.
Apa artinya? Damai itu bisa semata di bibir elite. Merekalah memang yang gemar berkomitmen, tetapi komitmen itu tidak diteruskan dan dipelihara hingga ke para pengikut di tingkat warga.
Yang lebih parah tentu komitmen damai itu boro-boro sampai ke akar rumput, wong elite sendiri mengingkarinya. Elite yang berkomitmen, elite pula yang lidahnya tidak bertulang. Nyatanya dalam kampanye malah elite yang menebar kebencian, permusuhan.
Dalam kampanye di lapangan terbuka yang mengerahkan ribuan warga (jumlah persisnya bergantung pada klaim), mudah-mudahan komitmen damai itu masih terpelihara dengan konsisten. Di arena terbuka itu yang waras boleh berharap elite mampu mengekspresikan dignity/martabat/kehormatan sebagai demokrat sejati yang mengajak pengikutnya untuk memilih capres idaman mereka dengan mengedepankan program yang menyenangkan warga, yang menjanjikan masa depan Indonesia yang lebih baik. Dalam kampanye massa mana ada argumentasi.
Dalam kampanye macam itu janji yang muluk-muluk, yang setinggi selangit ketujuh pun, halal hukumnya.
Cerita menjadi lain dalam hal kampanye melalui media sosial. Yang waras pun berpotensi berkurang kemampuan kritisnya, bahkan sepenuhnya irasional.
Apakah para pemimpin berkemampuan memelihara kampanye damai juga di media sosial? Atau malah yang terjadi sebaliknya, maaf, elite itulah yang mengompori untuk mengingkari komitmen damai?
Setiap orang yang bermedia sosial kiranya merasa superior dengan dirinya sendiri. Superioritas itu terutama bergantung pada kelincahan jari jemarinya memproduksi pesan dan meluncurkannya ke ruang publik setiap saat diinginkan. Perlu diberi aksentuasi perihal kelincahan jari jemari, bukan kelincahan berpikir dan kebeningan hati. Di media sosial yang akunnya personal itu tidak ada sidang redaksi yang punya kaidah-kaidah. Dirinya sendiri reporter, editor, sekaligus pemimpin redaksi. Demikian sempurnanya superioritas personal itu sehingga elite yang gemar kegaduhan bakal menjadikan media sosial sebagai platform kompor no 1 dalam mengingkari komitmen damai.
Pilpres tentu saja dengan sendirinya menaikkan suhu politik. Di situlah berlangsung puncak kontestasi dan kompetisi yang paling seru.
Karena itulah, capres-cawapres berseru dan berkomitmen berkampanye damai.
Akan tetapi, di media sosial tetaplah potensial terjadi pertarungan tajam untuk memenangkan kursi RI 1 dan RI 2. Sekali lagi perlu digarisbawahi, bertarung untuk memenangkan ‘kursi’, bukan bertarung untuk punya pemimpin bangsa dan negara yang terbukti dapat dipercaya membuat Indonesia lebih baik.
Kampanye damai dalam pilpres perlu komitmen untuk dilaksanakan. Apa yang menghidupi komitmen itu? Jawabnya di kotak suaralah warga mengekspresikan dignity/martabat/kehormatannya, apa pun identitasnya. Pilpres untuk memilih dan menyatukan, bukan untuk memilih dan membelah.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.