Ketika Optimisme Meledak Meletup

337

PARTISIPASI kepublikan tidak dapat tegak tanpa kepercayaan warga. Tingginya partisipasi kepublikan jelas merefleksikan tingginya kepercayaan warga.

Hemat saya itulah salah satu makna kepublikan terdalam yang dengan sangat gembira ditunjukkan anak bangsa di kancah Asian Games. Mereka dengan sukarela berinisiatif datang ke arena pertandingan.

Jumlahnya membeludak, yang statistiknya mungkin tidak tercatat. Akan tetapi, kita percaya kiranya terjadi pemecahan rekor oleh publik olahraga di dalam negeri, bahkan di dalam sejarah Asian Games.

Bersemi kebajikan yang mengharukan. Sekalipun tidak berhasil memperoleh tiket masuk ke arena pertandingan, publik tetap bergembira dan bergairah mengikuti jalannya kompetisi melalui layar lebar di luar gedung. Inilah partisipasi yang jujur.

Saya kira sedikitnya ada tiga perkara yang perlu diakui. Pertama, imajinasi publik dikagetkan acara pembukaan yang bahkan mengagetkan publik dunia. Tokoh sentralnya ialah Presiden Jokowi yang ‘terbang’ dengan sepeda motor gede yang membawa orang terbolak-balik antara alam nyata dan alam fantasi. Di satu pihak terjadilah efek dramatis yang penuh kejutan bagi yang nalarnya waras terhadap kreativitas, dan di lain pihak kelucuan bagi yang nalarnya tidak lucu karena menganggap mestinya Jokowi benaran pengendaranya, bukan pemeran pengganti (stuntman).

Saya teringat 38 tahun lalu, ketika sebagai reporter majalah Tempo ditugaskan mewawancara kehidupan stuntman untuk rubrik Ilustrasi. Inilah orang yang menyetir mobil jungkir balik dalam adegan film. Profesi itu dibayarnya dengan cedera berat, kakinya patah dan cacat permanen. Jalannya terpincang-pincang selamanya. Hanya orang sinting yang kepengin presidennya melakoni hiburan di acara pembukaan Asian Games itu tanpa pemeran pengganti.

Acara pembukaan Asian Games itu mendapat liputan berupa pujian, bukan hanya dari media dalam negeri, melainkan juga internasional. Sangat masuk akal publik kembali berfantasi adanya kejutan kreativitas pada acara penutupan yang membuat minat dan gairah publik untuk menonton langsung bertambah berlipat-lipat. Tidak mendapatkan tiket masuk, tetapi tetap datang berbondong-bondong untuk menonton di luar gedung melalui TV layar lebar.

Faktor kedua tentu saja prestasi yang luar biasa dalam perolehan medali. Prestasi atlet kita itu menjungkirbalikkan habis-habisan semua pandangan yang pesimistis atas target yang dicanangkan pemerintah. Kiranya yang terjadi ialah mereka terus berlatih dan berkompetisi dalam senyap, tidak gembar-gembor.

Hemat saya, itulah etos kerja dalam olahraga yang meneladani sang pemimpin, Presiden Jokowi. Ini faktor ketiga yang ditunjukkan dalam hebatnya partisipasi kepublikan itu, yaitu tingginya kepercayaan publik kepada pemerintah dan kepemimpinan Jokowi.

Yang menarik ialah dengan seluruh prestasi dalam Asian Games itu, Presiden Jokowi membuat kejutan untuk masa depan Indonesia. Dia mengumumkan bahwa Indonesia ikut tender bersaing dengan negara-negara hebat untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2032.

Ketika itu, 14 tahun lagi, Jokowi sudah tidak presiden lagi. Dia tidak bisa menjadi presiden lebih dua kali. Karena itu, pencanangan ikut tender menjadi tuan rumah Olimpiade 2032 itu tidak ada urusan dengan pencitraan, tidak ada urusan dengan syahwat kekuasaan.

Sebagai pemimpin bangsa dan negara yang besar ini ia membuat target pencapaian yang luar biasa bagi bangsa dan negara ini, di masa depan yang tidak jauh. Sebuah target pencapaian yang menuntut mutu sumber daya manusia yang lebih hebat, fasilitas Olimpiade yang memang standarnya lebih hebat, dan kapasitas manajerial dan finansial yang juga hebat.

Tempalah besi ketika panas, ketika optimisme meledak meletup. Pakailah Asian Games ini momentum untuk melompat jauh ke depan. Siapa bilang Indonesia bubar 2030?

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.