Keputusan Radikal dan Terlembagakan
KPK kiranya gagal mencegah korupsi. Bahkan, tidak ada tanda-tanda KPK dapat membasmi korupsi. Kenapa?
Harap jangan salah paham. KPK berhasil, sangat berhasil melakukan penindakan, memasukkan koruptor ke penjara. Orang terakhir yang menjadi tersangka KPK ialah Idrus Marham yang telah mengundurkan diri selaku menteri sosial.
Namun, sejujurnya harus dikatakan korupsi bukannya berkurang. Corruption Perceptions Index 2017 tetap buruk (skor 37).
Tentu saja KPK tidak dapat sendirian membasmi korupsi yang luar biasa itu, sekalipun dirinya sebagai superbodi dijadikan superpower.
Pernyataan itu mengandung pesimisme karena kita sebagai bangsa memang tidak pernah mengambil langkah radikal dan terlembagakan untuk membasmi korupsi. Saban kali jalan keluar radikal dan terlembagakan ditawarkan sebagai kebijakan kepublikan, saban kali itu pula bakal terjadi perbantahan yang berkepanjangan dan kita gagal berkeputusan yang radikal dan terlembagakan.
Mohon maaf saya sengaja menggunakan kata ‘kita’ karena korupsi memang masalah kita bersama sebagai bangsa dan negara. Oposisi pun korupsi, sekalipun cenderung tidak bisa menahan bibirnya di dalam perbantahan itu.
Belum lama ini muncul kontroversi gaji menteri Singapura. Kontroversi itu terpantik oleh pernyataan Goh Chok Tong, mantan perdana menteri Singapura, yang bilang bahwa gaji menteri Singapura tidak cukup untuk menarik anak bangsa Singapura yang kompeten menjadi menteri di masa depan. Pernyataan itu dilansir pada 7 Agustus 2018, ketika berdialog dengan warga South East District Singapura, dan mendapat tanggapan luas.
Bukankah gaji menteri Singapura termasuk tertinggi di dunia?
Hemat saya, Goh Chok Tong mengangkat soal gaji menteri itu lebih mengandung pesan moral kepublikan agar Singapura terus mempertahankan reputasinya sebagai negara yang menggaji menteri tertinggi di dunia. Untuk apa?
Bapak bangsa Singapura Lee Kuan Yew menjawabnya bukan saja agar anak bangsanya yang terbaik mau menjadi pelayan publik sebagai menteri, melainkan juga agar penyelenggara negara tidak korupsi. Katanya, berargumentasi bahwa menjadi menteri merupakan kehormatan, pengabdian, bukan uang, itu hipokrit/munafik. Dalam perkara itu, perbantahan nasional diselesaikan dengan keputusan negara yang radikal dan terlembagakan.
Pada 1993, PM Lee mengusulkan formula gaji yang dicantolkan kepada sektor swasta, yaitu gaji tertinggi eksekutif puncak korporasi lokal dan MNC serta gaji kaum profesional di empat cabang profesi terkemuka (bankir, akuntan, engineer, dan lawyer).
Dihasilkan benchmark gaji menteri sebanyak 2/3 daripada median pendapatan eksekutif puncak dan gaji tertinggi empat profesi itu. Parlemen mengesahkan proposal itu. Dari mana negara tahu gaji swasta itu? Dari pajak penghasilan.
Bila pertumbuhan ekonomi bagus, gaji orang-orang swasta itu naik, begitu pula gaji menteri. Sebaliknya, bila perekonomian buruk, gaji orang-orang swasta itu turun, begitu pula gaji menteri.
Sepertinya sulit dipercaya gaji menteri diturunkan. Namun, itulah yang terjadi. Pada 2006, gaji menteri Singapura turun menjadi 55% dari benchmarck. Berapa persisnya gaji yang telah diturunkan itu? Jawabnya S$1.202.600/tahun.
Itu berarti gaji menteri Singapura besarnya sekitar S$100 ribu/bulan (dibulatkan ke bawah). Kurs tengah terendah dolar Singapura terhadap rupiah kala itu (April 2006) ialah 5.567,92. Jadi, gaji menteri Singapura waktu itu mencapai Rp556.792.000/bulan, atau setengah miliar rupiah lebih per bulan. Sekalipun gaji itu telah diturunkan, jumlah uang yang diterima menteri Singapura itu tetap fantastis untuk anak bangsa Indonesia umumnya. Benarkah?
Umumnya benar, tetapi tidak benar-benar fantastis khususnya bagi gaji pimpinan puncak Otoritas Jasa Keuangan yang mencapai Rp300 juta/bulan, gaji pimpinan puncak Lembaga Penjamin Simpanan yang mendekati Rp300 juta/bulan, serta gaji Gubernur Bank Indonesia yang mencapai Rp200 juta/bulan. Semua ini benchmark yang bagus bila transparan dan terlembagakan formulanya.
Hemat saya, kita harus berani mengambil keputusan negara yang radikal dan terlembagakan sedemikian rupa sehingga gaji penyelenggara negara cukup kompetitif untuk membunuh nafsu korupsi. Benchmarking tidak usah ke Singapura, tetapi cukup dibandingkan dan disandingkan dengan penghasilan pimpinan puncak tiga lembaga OJK, LPS, dan BI.
Meminjam pandangan bapak bangsa Singapura, kita selama ini memelihara hipokrisi. Gaji dipertahankan rendah, tapi faktanya kekayaan pejabat negara terus meningkat. Untuk perkara yang satu ini kiranya tidak ada perbantahan nasional. Anehnya, kenapa kita masih perlu perbantahan nasional bahwa kita perlu model mental yang baru yang jujur dan terbuka perihal gaji pelayan publik yang perlu dinaikkan berlipat-lipat?
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.