Untuk Amien Rais di Business Class

321

SEORANG tokoh, elite di negeri ini, duduk di business class di sebuah penerbangan komersial kiranya perkara yang wajar. Mestinya juga tidak terkecuali untuk seorang Amien Rais, pendiri PAN, mantan Ketua MPR.

Tentu duduk di kelas bisnis di penerbangan domestik membuka peluang penumpang kelas ekonomi melihat sang tokoh. Melihat ada Amien Rais, seorang penumpang yang duduk di kelas ekonomi kursi No 8A, terdorong rasa penasaran lalu menulis sepucuk surat yang dititipkan kepada pramugari untuk disampaikan kepada Amien Rais.

Isinya, “Mumpung ketemu di pesawat walaupun bapak duduk di Bisnis. Penasaran saya, kenapa bapak benci sekali dengan pak Jokowi? Salah apa Presiden saya ke Bapak? Kesal juga dengar bapak hina-hina presiden saya. Enjoy your business class sir!”

Setelah pesawat mendarat di bandara Adisutjipto, Yogya, penumpang kelas ekonomi itu mengejar Amien Rais. Terjadilah percakapan pendek, antara lain penumpang kelas ekonomi itu bilang. “Saya rakyat Indonesia, tidak terima bapak hina-hina Jokowi,” yang dijawab, “Kamu antek Cina.”

Di akhir percakapan, Amien Rais mengajak salaman dan berfoto, tetapi ditolak disertai pernyataan dalam bahasa Jawa, “Emoh, nek foto karo Jokowi aku gelem!.”

Kisah itu beredar di media sosial dan menimbulkan pro dan kontra. Ada yang berpendapat itu hoax, ada yang percaya bahwa hal itu benar terjadi, bukan fantasi.

Fantasi sekalipun isi surat itu mengandung kebenaran, yaitu rasa penasaran pemilih Jokowi, kenapa Amien Rais benci sekali dengan Jokowi? “Salah apa Presiden saya?”, merupakan pertanyaan yang mewakili banyak orang yang tidak disampaikan langsung kepada Amien Rais. Bilapun ada orang yang bakal memilih lagi Jokowi pada 2019 kebetulan melihat Amien Rais, seperti penumpang kelas ekonomi itu, orang itu memilih menyimpan rasa penasarannya di dalam hati.

Kenapa Amien Rais benci sekali Jokowi? Apa salah presiden saya? Pertanyaan pertama kiranya berkaitan dengan ekspresi di wilayah psikoanalisis. Salah satu penjelasan menggunakan konsep ‘proyeksi’ Sigmund Freud, yang mendeskripsikan kecenderungan kita untuk menolak apa yang kita tidak sukai tentang diri kita.

Ada yang mengembangkannya lebih jauh, proyeksi sebagai kebutuhan kita menjadi baik, yang menyebabkan kita memproyeksikan keburukan keluar diri dan menyerangnya.

Pendapat lain tentang kebencian berangkat dari kebalikannya, yaitu compassion terhadap orang lain seperti terhadap diri sendiri. Jika saya memelihara benci kepada orang lain, terkandung di dalamnya saya pun membenci diri saya. Siapakah saya ini gerangan?

Amien Rais ialah tokoh besar, Ketua MPR, bapak reformasi. Tapi tidak terpilih menjadi presiden. Siapakah Jokowi? Tokoh kecil, Wali Kota Surakarta, malah jadi presiden. Hemat saya, di sanalah urusan proyeksi atau compassion.

Pertanyaan kedua apa salah presiden Jokowi? Pertanyaan ini berkaitan dengan ekspresi di wilayah kebijakan publik yang memerlukan jawaban kepublikan yang jujur, berbasiskan fakta, dan argumentatif.

Kualitas macam itu kiranya hanya dapat diproduksi tokoh yang punya compassion terhadap orang lain seperti terhadap diri sendiri.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.