Transparansi dan Arogansi

287

TRANSPARANSI bisa membawa masalah besar bila mengandung arogansi. Itulah yang menimpa Julen Lopetegui Argote, pelatih Spanyol, yang hanya sehari sebelum Piala Dunia 2018 di Rusia dibuka mendadak dipecat.

Keputusan memecat pelatih hanya sehari menjelang pertandingan di level dunia kiranya hanya berani dilakukan Federasi Sepak Bola Kerajaan Spanyol. Padahal, sebagai pelatih nasional Julen menunjukkan prestasi yang memberi harapan Spanyol kembali diperhitungkan untuk menjadi juara dunia.

Di bawah kepemimpinannya sebagai manajer tim muda negaranya, pada 2012 Spanyol menjadi juara Eropa untuk umur di bawah 19 tahun dan pada 2013 juara Eropa untuk umur di bawah 21 tahun.

Pada 21 Juli 2016, dia diangkat menjadi manajer tim nasional Spanyol. Dia berhasil membawa Spanyol ke Rusia, lolos kualifikasi Grup G tanpa pernah kalah, yaitu sembilan kali menang dan sekali seri.

Karena itu, pemecatannya yang mendadak pada 13 Juni 2018, sehari sebelum Piala Dunia 2018 dibuka, tentu mengagetkan penggemar Spanyol.

Saya sendiri belum ‘ngeh’ tentang pemecatan itu sehingga sempat terheran-heran ketika menyaksikan pertandingan Portugal-Spanyol, melihat Fernando Hierro yang berteriak-teriak di pinggir lapangan sebagai manajer Spanyol.

Hemat saya, pelatih dadakan itu membuat keputusan yang gegabah yang menunjukkan betapa dia bukan manajer berpengalaman.

Spanyol baru unggul 3-2 berkat tendangan Nacho pada menit ke-58.

Kemenangan yang riskan. Namun, pada menit ke-70, Hierro menarik keluar lapangan Andres Iniesta untuk digantikan Thiago Alcantara, kemudian pada menit ke-77 mengganti pencetak dua gol Diego Costa dengan Aspas, serta mengganti David Silva dengan Lucas Vazsquez pada menit ke-86.

Hasilnya? Pada menit ke-88 Cristiano Ronaldo mencetak hattrick menyamakan kedudukan 3-3.

Menang satu gol di level dunia, melawan juara Eropa pula, padahal pertandingan masih tersisa amat panjang (32 menit), jelaslah bukan kemenangan yang aman dan meyakinkan untuk menarik keluar lapangan tiga andalan senior (Iniesta, Costa, Silva).

Sebagai pemain, Fernando Hierro bek tengah yang cemerlang di Real Madrid dan di tim nasional Spanyol, tapi kiranya sebagai manajer dadakan dia terlalu arogan mengganti skuat yang sedang di atas angin kemenangan.

Fernando Hierro pun membuat kekeliruan besar dalam mengawal Ronaldo. Ia menugasi Sergio Ramos, teman seklubnya di Real Madrid yang mengawal Ronaldo.

Cerita bakal berbeda jika Gerald Pique, bek Barcelona yang menjaga habis-habisan Ronaldo. Pique lebih berpengalaman menjaga Ronaldo. 

Klubnya musuh bebuyutan, dia tentu lebih lugas ketimbang Ramos.

Di atas segalanya arogansi yang utama bukan di pinggir lapangan tempat manajer berekspresi, melainkan berada di puncak organisasi Federasi Sepak Bola Spanyol maupun di puncak klub raksasa Real Madrid. Pemimpin puncak federasi Luis Rubiales kiranya tersinggung berat gara-gara ulah pemimpin puncak Real Madrid, Florentino Perez, yang pada 12 Juni 2018 mengumumkan pengangkatan manajer tim nasional Julen Lopetegui menjadi manajer Real Madrid menggantikan Zinedine Zidane.

Rasanya di situ terjadi perbedaan yang tajam. Bos federasi sepak bola Spanyol baru tahu pengangkatan Julen sebagai manajer Real Madrid hanya 5 menit sebelum diumumkan kepada publik. Bukankah Julen masih terikat kontrak sebagai manajer nasional? Bos Real Madrid terlalu arogan untuk menghormati federasi.

Padahal, federasi mengkhawatirkan pengangkatan Julen itu bakal merusak suasana kebatinan pemain nasional di ruang ganti. Tim nasional Spanyol berasal dari berbagai klub, bahkan bersemayam rivalitas abadi Real Madrid-Barcelona.

Namun, kali ini pemain Real Madrid lebih banyak.

Apa kata bos Real Madrid?

Perez bilang, “Real Madrid dan Julen bebas membuat kesepakatan. Tujuan kami menunjukkan transparansi dan menepis rumor.” Dia tidak bisa menerima penilaian bahwa pengangkatan Julen itu berpengaruh kepada mutu permainan pemain top. “Tidak ada satu pun argumentasi yang membenarkan Julen Lopetegui tidak duduk sebagai manajer Spanyol besok.”

Faktanya Julen dipecat. Katanya, pemecatan itu merupakan kesedihan kedua dalam hidupnya setelah kepergian ibunya. “Kami harus menutup perundingan sebelum dan tidak selama Piala Dunia berlangsung. Kami menginginkan transparansi. Sebagai manajer saya tidak ingin ada yang disembunyikan. Para pemain tahu itu dan tidak ada masalah.” Pertanyaannya, siapakah yang tidak terburu-buru kepincut menjadi manajer Real Madrid?

Faktanya ialah yang disebut-sebut sebagai transparansi itu memproduksi masalah besar karena diwarnai arogansi. Baik federasi, Real Madrid, maupun juga Julen, dengan sikap berdiri masing-masing lupa kepentingan nasional bersama, yakni memelihara atmosfer di tim nasional untuk membawa Spanyol kembali menjadi juara dunia.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.