Anak Biologis Presiden Soeharto

301

SALAH satu berita menarik sebelum Idul Fitri ialah Titiek Soeharto keluar dari Partai Golkar untuk bergabung dengan Partai Berkarya yang didirikan Tommy Soeharto, adik kandungnya.

Dalam pernyataan pengunduran dirinya yang beredar di ruang publik secara eksplisit, Titiek membahasakan dirinya sebagai ‘anak biologis Presiden Soeharto’. Pernyataan yang mengganggu dari sudut ketatanegaraan.

Anak biologis presiden (siapa pun itu sang presiden) mengandung makna takhta presiden dapat diwariskan. Dalam bahasa yang lebih terang benderang, takhta presiden dapat diturunkan kepada keturunannya. Perbandingannya ialah anak biologis raja –bukan anak angkat atau anak tiri raja– yang memang dapat menjadi raja.

Mbak Titiek, Republik Indonesia bukan kerajaan dan takhta presiden RI tidak punya, tegasnya tidak boleh punya anak biologis. Ketidakmampuan yang berkuasa menegakkan perkara pokok inilah biang keladi nepotisme.

Yang benar, Titiek Soeharto merupakan ‘anak biologis Soeharto’ atau sopannya ‘anak biologis Pak Harto’. Urusan berbeda sekiranya Titiek Soeharto membahasakan dirinya sebagai ‘anak ideologis Presiden Soeharto’. Kenapa? Seorang presiden sepatutnya punya ideologi, yaitu interpretasi dan evaluasi sang presiden atas dunia ini, dan dengan itu dia membawa negara dan bangsa yang dipimpinnya ke suatu tujuan, ke masa depan.

Ideologi Presiden Soeharto ialah developmentalisme ala Orde Baru, yakni pembangunan berencana lima tahunan mengejar pertumbuhan tinggi dengan memarginalkan pemerataan dan memberangus kebebasan pers.

Bahwa Titiek Soeharto yang ‘anak biologis Pak Harto’ meyakini dengan atau tanpa koreksi ideologi developmentalisme itu masih cocok, lalu dia membahasakan dirinya sebagai ‘anak ideologis Presiden Soeharto’, itu pilihan personal.

Bahkan, boleh jadi secara institusional menjadi postulat landasan berdirinya Partai Berkarya. Apakah ideologi Presiden Soeharto itu masih laku dijual, biarlah pengujiannya diserahkan kepada rakyat dalam pemilu yang demokratis.

Suatu hari di tol ke Bekasi, saya membaca di sebuah truk gambar Pak Harto bertuliskan bahasa Jawa, ‘enak jamanku bien’. Enak zamanku dulu. Romantisme demikian punya hak hidup, terlebih diekpresikan di sebuah truk milik privat, tetapi itu bukan pembenar bahwa Presiden RI punya anak biologis.

Seorang sahabat menilai keluarnya Titiek Soeharto dari Partai Golkar ke Partai Berkarya bagaikan check out dari hotel bintang lima, lalu check in di hotel bintang tiga. Anak biologis Pak Harto ialah warga negara yang punya hak konstitusional, hak berserikat untuk mendirikan partai politik. Berapa pun ‘bintangnya’, mereka kini punya partai sendiri. Hal itu buah reformasi, tidak mungkin terjadi di zaman Presiden Soeharto yang berideologi developmentalisme yang membatasi hak konstitusional itu hanya untuk tiga partai, Golkar, PDI, dan PPP.

Titiek Soeharto keluar dari Golkar dengan alasan partai besar itu mengekor dan ABS kepada pemerintah. Dia berpandangan bangsa kita saat ini sungguh sangat memprihatinkan, antara lain katanya terjadi penyelundupan narkoba berton-ton yang bisa menghancurkan bangsa, tetapi pemerintah tidak sedikit pun berkomentar tentang hal itu. Pertanyaannya, dari mana Titiek Soeharto tahu terjadi penyelundupan berton-ton narkoba kalau tidak justru karena telah dapat dibongkar aparat pemerintah dan disiarkan media? Bukankah pernyataannya itu mengandung self evidence?

Tentu saja boleh diduga banyak orang yang dulu dihidupi atau dibesarkan atau diperkaya Keluarga Cendana yang tetap setia kepada keluarga itu dan sekarang kiranya dapat direkatkan kembali secara politik di dalam Partai Berkarya. Apa pun alasannya, mereka berhak untuk menentukan pilihan politiknya.

Mahkamah Konstitusi memutuskan negeri ini terbuka bagi hidupnya dinasti keluarga menjadi dinasti politik. Tinggal waktu dari pemilu ke pemilu yang membuktikan apakah anak-anak biologis Pak Harto pun dapat membangun dinasti politik di negeri demokratis ini?

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.