George Soros dan Jack Ma

350

BANYAK tokoh berbicara di World Economic Forum yang berlangsung di Davos, Swiss, pekan lalu, tetapi sedikit tokoh yang narasinya kuat mencuat ke publik dunia.

Dua dari yang sedikit itu ialah George Soros dan Jack Ma.

Soros mengkritik Donald Trump, presidennya, yang dinilainya menjadi otoriter dan tengah membawa AS ke dalam perang nuklir.

Sebagai pendukung Hillary Clinton, kritik Soros perihal Trump itu kiranya perkara lumrah.
Yang baru ialah investor miliarder itu berbicara sangat keras tentang media sosial, Facebook dan Google.

Kedua media sosial itu dinilainya sebagai ancaman terhadap masa depan. Demi mendapat pasar raksasa, demikian Soros, bukan masalah bagi perusahaan media sosial itu bekerja sama dengan negara otoriter Tiongkok, yang selama ini melarang mereka.

Bukan persoalan, sekalipun web itu menjadi platform totaliter.

“Yang bahkan Aldous Huxley atau George Orwell tidak dapat mengimajinasikannya,” kata Soros.

Aldous Leonard Huxley ialah penulis, novelis, filosof Inggris yang menghasilkan 50 buku, antara lain novel Brave New World, tentang masa depan distopia alias antiutopia.

Itulah masyarakat yang mengalami kemunduran besar-besaran berupa dehumanisasi, pemerintahan totaliter, kehancuran lingkungan.

George Orwell, novelis, esais, jurnalis juga asal Inggris, dalam karyanya 1984 pun melukiskan suatu masyarakat masa depan distopia.

Betapa dahsyat kerusakan masa depan yang kedua penulis besar itu imajinasikan.
Namun, menurut Soros, kerusakan masa depan karena media sosial, jauh melampaui.

Karena itu, Soros berpendapat agar dibuat peraturan yang ketat untuk mengendalikan media sosial, khususnya Facebook yang merupakan platform penyebar ujaran kebencian.

“Davos ialah tempat yang baik untuk mengumumkan hari kematian mereka,” kata Soros.

Jack Ma, pendiri dan pemilik Alibaba, perusahaan raksasa Tiongkok di bidang e-commerce tentu saja tidak seperti Soros yang mengkhawatirkan masa depan berupa masyarakat distopia gara-gara media sosial yang berbasiskan kemajuan teknologi informasi.

Ia mengkhawatirkan masa depan anak-anak kita bila terus diajar dengan cara sekarang.

Viral yang menyebarluaskan presentasinya di Davos itu diawali dengan data tentang robot yang bersumber dari McKinsey Global Institute.

Bahwa pada 2030, sebanyak 800 juta tenaga kerja hilang digantikan robot.

Jack Ma bilang, anak-anak kita tidak dapat bersaing dengan mesin jika mereka tetap diajar dengan cara sekarang, yang telah berumur 200 tahun.

Tantangan kita terbesar, “Pendidikan harus berubah,” katanya.

Untuk menghadapi masa depan, anak-anak kita harus diberi soft skills, yaitu nilai-nilai, keyakinan, berpikir bebas, kerja sama tim, serta peduli kepada sesama.

Semua itu dapat dicapai melalui olahraga, musik, dan melukis.

Seni membedakan manusia dengan mesin, demikian Jack Ma.

Dua tokoh itu bicara tentang masa depan yang tidak jauh, yang menurut Jack Ma urusan 30 tahun ke depan.

Bukan mengada-ada mengatakan bentuk lain kemunduran masyarakat distopia itu bisa datang lebih cepat di tengah masyarakat plural, seperti negeri ini, bila ujaran kebencian lewat media sosial itu gagal kita patahkan.

Harian Kompas memberitakan bahwa dalam urusan pendidikan kita masih berkutat perihal sertifikasi guru.

Sekitar 1,32 juta guru dalam jabatan yang belum diikutkan sertifikasi pemerintah.

Selain itu, secara nasional kita kelebihan guru untuk jenjang pendidikan anak usia dini hingga menengah.

Akibatnya, banyak sarjana pendidikan terancam menganggur. Mereka justru harus diberi kemampuan tambahan agar tidak terpateri pada karier sebagai guru.

Kira-kira apa kata Jack Ma? Maaf, guru-guru itu sedang dibuat bersaing dengan mesin di masa depan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.