Rangkap Jabatan
TANPA buang waktu, Presiden Jokowi kemarin mengganti Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang mundur dari jabatannya karena ikut pilkada sebagai calon Gubernur Jawa Timur.
Jokowi melangkah cepat, sesuai karakternya, sigap bekerja. Spekulasi pun berakhir.
Mensos baru ialah Idrus Marham yang saat dilantik kemarin masih berkedudukan sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar.
Pengangkatan Idrus itu memperkuat posisi Golkar sebagai partai pendukung pemerintah bersama PDIP, NasDem, PKB, Hanura, dan PAN (yang dinilai setengah hati).
Dihitung dengan jujur, Golkar yang di kala pilpres tidak mendukung Jokowi, kini di pemerintahan Jokowi mendapat empat kursi, jumlah yang signifikan.
Selain Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Sosial Idrus Marham yang baru dilantik, jangan lupa menghitung Menko Bidang Kemaritiman Luhut B Pandjaitan sebagai kader Golkar.
Juga tidak fair tidak menghitung Nusron Wahid.
Ia bukan menteri, tapi kedudukannya sebagai Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), setingkat menteri.
Yang mengherankan ialah sejauh ini Presiden Jokowi merestui rangkap jabatan di Partai Golkar.
Pada 30 Mei 2016, Nusron Wahid diangkat menjadi Ketua Koodinator Bidang Pemenangan Pemilu Indonesia I (Sumatra dan Jawa) Golkar justru dalam kedudukannya sebagai Kepala BNP2TKI.
Itu berarti telah terjadi rangkap jabatan di partai dan di pemerintahan selama 19 bulan.
Menteri Perindustrian Airlangga juga merangkap jabatan, bahkan di puncak jabatan partai, yakni sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Itu terjadi justru ketika dia menjadi menteri.
Karena itu, patut ditengarai rangkap jabatan Airlangga itu bakal berlanjut sampai masa pemerintahan Jokowi jilid I ini berakhir.
Buktinya, Jokowi tidak menggunakan mundurnya Mensos Khofifah sebagai momentum untuk melakukan perombakan kabinet, yaitu mencopot Airlangga, sehingga tidak terjadi rangkap jabatan.
Bahkan, Jokowi malah memakai momentum itu untuk melegitimasikan perangkapan jabatan dengan menjadikan Idrus Marham selaku mensos, justru dalam kedudukannya selaku Sekjen Partai Golkar.
Demikianlah, sejauh menyangkut orang Golkar, perangkapan jabatan bukan lagi masalah bagi Presiden Jokowi.
Kenapa?
Hanya Jokowi yang tahu.
Yang publik tahu dengan baik, tokoh Golkar tidak bergigi ke dalam tubuh Golkar kalau yang bersangkutan tidak berada di dalam kekuasaan pemerintahan.
Karena itu, merangkap jabatan di dalam kekuasaan pemerintahan dan sekaligus berkuasa di tubuh Golkar menjadi faktor sangat penting.
Rangkap jabatan itu yang menghidupi pengakuan dan kepatuhan.
Bayangkanlah seberapa hebat wibawa seorang Airlangga sebagai ketua umum jika dia bukan menteri?
Bayangkanlah pula seberapa kuat pengaruh seorang Idrus Marham ke dalam tubuh Golkar jika dia semata mensos, tanpa kekuasaan sebagai Sekjen Golkar?
Maaf, perbandingan kiranya bakal lebih melorot lagi untuk seorang sekelas Nusron Wahid bila dia tidak berkedudukan sebagai Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Golkar.
Pengakuan dan kepatuhan kepada pimpinan Golkar itu kian mencolok urgensinya dalam urusan penentuan calon anggota DPR.
Siapa berani berseberangan dengan risiko tidak dicalonkan dalam pileg? Bukankah pemilu tahun depan alias sedikit hari lagi?
Berkoalisi dengan Golkar hanya efektif bergigi ke legislatif kalau pimpinan puncaknya rangkap jabatan dalam kekuasaan eksekutif.
Apakah kultur Golkar itu yang membuat Jokowi toleran terhadap rangkap jabatan?
Di tahun-tahun politik ini, satu-satunya pemaaf atas toleransi itu ialah Presiden punya hak prerogatif mengangkat menteri dengan pertimbangan sangat pokok, yaitu realistis terhadap semua anatomi koalisi demi terpeliharanya pemerintahan yang kuat.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.