Adu Elite

298

SETYA Novanto memang hebat. Dalam status tersangka/terdakwa dan ditahan sekalipun dia berhasil membuat kehebohan di kalangan elite politik, elite hukum, bahkan elite profesi kesehatan. Mari kita mulai dengan urusan kesehatan. Hakim meminta dokter yang memeriksa Setya Novanto hadir di persidangan.

Dokter Rutan KPK Yohanes Hutabarat mengatakan dia memeriksa Setya Novanto sekitar pukul 08.00 WIB dan sesaat sebelum berangkat ke pengadilan. Apakah Setya Novanto lancar menjawab dokter? Lancar. Padahal, dalam sidang pengadilan itu Setya Novanto tidak menjawab hakim dengan lancar.

Setelah tiga kali hakim bertanya soal namanya, barulah Setya Novanto menjawab. Hakim Yanto bertanya kepada dokter EM Yunir dari RSCM, apakah dalam ilmu kesehatan dimungkinkan dalam 5-6 jam berubah drastis? Jawab dokter, kurang lebih kondisi psikis bisa memengaruhi saraf tidak bisa berbicara.

Menurut jaksa Irene, Setya Novanto mengeluh diare 20 kali. Tapi laporan pengawal di rutan, sepanjang malam hanya dua kali ke toilet. Sakit apakah Setya Novanto? Senyatanya Setya Novanto menunjukkan kehebatannya, yaitu melakukan perlawanan terhadap hak untuk sehat.

Dia mengubahnya menjadi hak untuk sakit. Dia protes keras dinyatakan sehat dan layak disidang. Setya Novanto membuat elite hukum kembali harus menjawab pertanyaan mendasar, kapankah seorang tersangka/terdakwa mulai diadili? Padahal Mahkamah Konstitusi telah menjawab pertanyaan tersebut sehingga Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP tidak multitafsir lagi sebagaimana aslinya, bahwa permintaan praperadilan dinyatakan gugur ketika telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan.

Dalam pasal itu eksplisit disebut pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan. Apakah karena itu Setya Novanto tidak langsung menjawab hakim tentang namanya untuk berkelit bahwa perkara itu bukan atas nama dirinya sebagai terdakwa pokok perkara yang dimaksud?

Bukankah hal itu yang sedang diperjuangkannya melalui praperadilan? Senyatanya Setya Novanto menunjukkan kehebatannya, yakni melakukan perlawanan terhadap hak untuk diadili. Dirinya hanya kenal hak untuk praperadilan, bukan untuk pengadilan. Dia menjadikan dirinya bukan tersangka, melainkan pratersangka.

Bukan terdakwa, melainkan praterdakwa. Lengkapnya, Setya Novanto pratersangka/praterdakwa yang berhak sakit. Kehebatan lainnya, dari rutan sekalipun Setya Novanto nyata-nyata berhasil membuat sebuah partai besar menjadi partai semaput. Besar tapi pingsan. Maaf, partai itu menjadi seperti prapartai yang berhak sakit.

Puncak kehebatan Setya Novanto sebetulnya bukan di hadapan hakim atau dokter atau warga partainya selaku ketua umum, melainkan di hadapan rakyat yang telah memilih wakilnya duduk di DPR.
Setya Novanto menunjukkan dirinya belum tergantikan sebagai Ketua DPR. Posisi Ketua DPR itu merupakan ‘milik’ partainya, urusan partainya, partainya yang besar tapi dibuatnya pingsan.

Posisi Ketua DPR samalah dengan posisi ketua umum partai tersebut, tepatnya sama-sama berstatus ‘pra-‘ yang berhak sakit seperti Setya Novanto. ‘Pra-‘ itu tinggal diteruskan saja, misalnya menjadi prademokrasi, praperadaban, prasejarah.

Dalam konteks keseluruhan yang terjadi ialah adu cepat dan adu lambat. Setya Novanto adu cepat di praperadilan melawan KPK yang adu cepat membawa pokok perkara KTP-E ke pengadilan.

Dalam hal jabatan ketua umum partai dan Ketua DPR, Setya Novanto dan kawan-kawannya adu lambat dalam rangka mempertahankan status quo posisi ketua umum partai ataupun ketua DPR berhadapan dengan pihak yang adu cepat ingin menggantinya. Siapakah yang menang?

Dalam pikiran besar semua adu elite itu membawa kita mundur ke belakang. Suka atau tidak suka Setya Novanto memang hebat.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.