Bangku Tempel

324

TERNYATA lebih mudah mencari calon gubernur daripada mencari calon wakil gubernur. Kesulitan itu sekurang-kurangnya dialami calon gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan calon gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Sepengetahuan publik, keduanya hingga saat ini belum punya pendamping dalam Pilkada 2018.

Posisi wakil, meminjam istilah di Sumatra Utara, bukan posisi ‘bangku tempel’, yaitu bangku kecil yang ditawarkan kepada seorang penumpang karena semua kursi bus sudah terisi. Orang itu bersedia duduk di bangku tempel karena tidak ada lagi bus lain yang bakal membawanya ke tempat tujuan.

Dia dengan senang hati duduk di bangku tempel, dengan ongkos bus yang sama, asalkan saat itu dia bisa berangkat ke tempat tujuan. Tentu saja sehebat-hebatnya Ridwan Kamil dan Khofifah sulit sampai ke tujuan jika calon wakil gubernur yang mendampingi mereka bak duduk di bangku tempel.

Karena itu, sebaiknya ‘bus’, yaitu kendaraan berupa koalisi partai yang mengusung mereka, hendaknya benar-benar menyediakan kursi, bukan bangku tempel. Semua elite partai tahu benar bahwa dalam pemilihan langsung figur wakil turut menentukan pilihan rakyat. Akan tetapi, pengetahuan satu hal, kepentingan hal lain.

Tidak semua kepentingan elite partai dapat dikalahkan hasil survei elektabilitas yang sangat tepercaya sekalipun. Dalam perkara itu, yang terjadi ialah rakyat dihadapkan kepada pilihan berupa wakil kepala daerah orang tempelan, sekalipun kursinya, bukan bangku tempel. Tentu saja ada pilkada anomali di saat praktis tidak terjadi kompetisi.

Sedemikian dalam dan meluasnya loyalitas dan militansi kepada suatu partai di daerah pemilihan itu sehingga siapa pun yang didudukkan partai itu sebagai calon wakil kepala daerah bukan faktor. Orang tempelan sekalipun yang didudukkan di kursi terhormat itu diyakni menang.

Loyalitas dan militansi yang homogen dan dominan itu kiranya hanya terjadi di pilkada beberapa kabupaten atau kota. Belum teruji benar untuk teritorial yang lebih luas, yaitu pilgub, terlebih pilpres.

Karena itu, faktor siapa menjadi wakil turut menentukan. Persoalan lain ialah kecocokan pasangan yang membawa kesetiaan yang tiada berkesudahan, bukan sebaliknya kesetiaan yang berakhir dengan kecocokan yang berkesudahan.

Perceraian di tengah jalan terjadi dengan alasan tidak cocok lagi. Ketidakcocokan sebagai alasan pecah kongsi bukan saja di tingkat rumah tangga pribadi, yaitu perkawinan, melainkan juga di tingkat rumah tangga pemerintahan, yaitu gubernur/bupati/wali kota dengan wakilnya.

Kita bahkan pernah mengalami perceraian besar di tingkat rumah tangga negara, yaitu pecah kongsi Bung Karno dan Bung Hatta. Dua pemimpin hebat itu, dwitunggal itu, pecah kongsi karena ketidakcocokan. Padahal, keduanya sangat setia yang tiada berkesudahan kepada bangsa dan negara.

Setelah keduanya wafat, kita kembali menyatukan mereka dalam wujud entah nama bandara ataupun nama jalan. Sebuah konstruksi kecocokan sebagai penghormatan. Betapapun hebat sebuah bandara internasional dan diberi nama hebat proklamator Soekarno-Hatta, semua itu tidak mengeliminasi fakta sejarah bahwa mereka berpisah di tengah jalan.

Seorang Soeharto, sebagai presiden, tidak berhasrat membangun kecocokan, terlebih kecocokan dalam kesepadanan dengan sang wakil. Setelah wapres yang dimuliakan yang juga raja Jawa, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Adam Malik, pejuang Angkatan 45, wapres selanjutnya duduk di bangku tempel sebagai bawahan. Bawahanlah yang mencocokkan diri dengan atasannya.

Rezim pun dibangun untuk langgengnya kekuasaan Pak Harto, berbasiskan ABG (ABRI, birokrasi, Golkar) di MPR. Kala itu tidak ada urusan rakyat dalam memilih presiden-wakil presiden. Kini, di era rakyat memilih langsung, kecocokan dengan wakil yang dibahasakan sebagai ‘chemistry’ sebaiknya menjadi salah satu pertimbangan pokok yang dapat membawa kesetiaan tiada berkesudahan, bahkan dalam perspektif kepemimpinan jangka panjang sampai 20 tahun.

Di dalam pemikiran besar itu jelas tidak ada tempat untuk orang tempelen, di bangku tempel sekalipun, terlebih di bangku terhormat. Karena itu, bijak menyerahkan kepada Ridwan Kamil dan Khofifah untuk menentukan sendiri siapa pendamping mereka sebagai wakil, yang idealnya kelak setelah dua periode (10 tahun), sang wakil diharapkan menjadi gubernur penerus dua periode lagi.

Kepemimpinan berkesinambungan itu hanya terjadi di dalam kecocokan dan kesetiaan pemimpin yang tiada berkesudahan, mengabdi demi daerah dan warga yang dipimpin. Di dalam pikiran besar itu, hemat saya, urusan serius berikutnya ialah mencari calon wakil presiden bersama Jokowi.

Siapa dia? Kiranya banyak yang berhasrat kendati kelasnya orang tempelan, di bangku tempel. Yang bikin celaka, orang tempelan itu tahu betul bahwa dalam politik tidak mudah menyiangi tempelan di bangku tempel sekalipun.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.