Suara Presiden

299

KEMBALI seorang presiden harus bersuara berkaitan dengan urusan hukum terhadap pimpinan KPK. Hal itu terjadi di zaman Presiden SBY dan sekarang pun terjadi di zaman Presiden Jokowi. Bagaimana perkara itu harus dilihat? Sebaik-baiknya posisi ialah presiden tidak bersuara perihal perkara hukum siapa pun.

Tanpa pandang bulu. Bersuara yang normatif sekalipun sebaiknya tidak dilakukan presiden. Akan tetapi, berkata begitu samalah diri saya membutakan diri terhadap kenyataan betapa besarnya aspirasi kepublikan masyarakat warga dalam menjaga dan mengawal KPK dari upaya pelemahan KPK.

Presiden diam, tidak bersuara, bakal dimaknai masyarakat warga bahwa presiden minimal melakukan pembiaran, maksimal diam-diam setuju KPK dilemahkan. Di tengah ganasnya korupsi yang tiada kunjung terbasmi, siapa gerangan presiden Republik ini yang suka dituduh seperti itu?

Maaf, KPK belum tentu suci dan benar, apalagi amat suci dan amat benar. Namun, orang dapat memakai relativisme sebaliknya, bahwa KPK ‘masih’ merupakan ‘sapu’ yang lebih bersih daripada ‘sapu’ lainnya. Di dalam percikan pemikiran itu, saya ingin menekankan kata ‘masih’.

Sampai kapan KPK ‘masih’ dipercaya sebagai lembaga yang ‘masih’ lebih bersih daripada lembaga negara lainnya? Dalam negative sense, jawabnya barangkali sampai terjadi OTT terhadap pemangku jabatan di KPK. Dalam positive sense, sampai polisi, jaksa, hakim lebih bersih mengalahkan kebersihan KPK.

Betapa pun relatifnya, selagi yang ‘masih’ itu ‘masih pula’ menyala dalam suasana kebatinan publik masyarakat warga, kiranya selama itu pula presiden dikehendaki bersuara. Presiden diam, tidak bersuara, tidak menjadikan dirinya bertambah mulia. Bukankah presiden yang bijak antara lain peka terhadap suasana kebatinan kepublikan masyarakat warga?

Kepekaan itulah kiranya yang diekspresikan Presiden bersuara atas masalah yang dihadapi dua pimpinan KPK dengan tetap menghormati batas-batas kewenangan penegakan hukum. Kata Jokowi, penyidikan terhadap dua unsur pimpinan KPK agar dihentikan jika tidak ditemukan bukti dan fakta.

Kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian, “Presiden ialah pemimpin tertinggi Polri. Tentu apa pun arahan beliau, sepanjang tidak bertentangan dengan aturan hukum, harus dicermati oleh jajaran Polri.” Seperti diketahui, pengacara Setya Novanto melaporkan dua pimpinan KPK Agus Rahardjo dan Saut Situmorang ke Bareskrim karena mencekal Setya Novanto, yang status tersangkanya dalam perkara KTP-E telah digugurkan melalui praperadilan.

Di lain pihak, terdengar jawaban KPK bahwa Setya Novanto dicekal dalam statusnya sebagai saksi, dalam perkara KTP-E dengan tersangka yang lain. Ada pakar yang berpandangan bahwa masyarakat warga yang sehat melindungi individu warga dari kekuasaan negara yang berlebihan.

Seberapa besar wewenang yang sebaiknya dimiliki KPK? Tidakkah berlebihan? Pertanyaan itu sekurang-kurangnya patut timbul mengingat hingga saat ini, misalnya, KPK tidak kunjung membawa mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar dan mantan Dirut Pelindo II RJ Lino yang berstatus tersangka ke pengadilan.

Tidakkah dalam urusan itu sedikit atau banyak terjadi kekuasaan KPK yang ‘berlebihan’ terhadap individu warga?
Pakar yang sama pun berpendapat bahwa negara juga harus melindungi individu warga dari konflik kepentingan yang selalu ada dalam masyarakat warga. Negara tidak dapat mentransfer kekuasaannya kepada masyarakat warga: ‘jika negara ada di mana-mana, ia tidak berada di mana pun’.

Disadari atau tidak, KPK telah mentransfer kekuasaannya kepada masyarakat warga. Sangat jelas masyarakat warga tidak berhasrat melindungi Setya Novanto, baik sebagai warga individu maupun sebagai ketua umum sebuah partai dan Ketua DPR. Substansi yang sama dari sudut pandang yang lain pun hadir di tubuh KPK.

Pencekalan Setya Novanto merupakan bukti bahwa KPK tidak percaya Setya Novanto sebagai individu ataupun sebagai Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR, tidak akan melarikan diri. Perlawanan terhadap pencekalan itu dengan melaporkan dua unsur pimpinan KPK kepada Bareskrim kiranya perlu dibaca sebagai perlawanan terhadap kekuasaan negara yang ‘berlebihan’ dimiliki KPK, yang notabene dipercaya masyarakat warga.

Karena itu, kiranya perlu dan penting Presiden Jokowi bersuara agar tidak terjadi negara ada di mana-mana sehingga negara tidak berada di mana pun, akibat semua punya kekuasaan berlebihan. Berlebihan entah itu dipersonifikasikan di dalam diri Setya Novanto, di dalam diri KPK, di dalam diri Polri, khususnya Bareskrim, maupun di dalam diri masyarakat warga.p

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.