Tanggung Jawab Berjenjang
KETUA MA didesak undur.
Jawabnya, ‘Saya mundur jika terjadi lagi’.
Apa yang terjadi lagi?
Ketua pengadilan tinggi tertangkap korupsi.
Berita itu merupakan tanggapan atas tertangkap tangannya Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara Sudiwardono.
Seorang hakim agung, Gayus Lumbuun, menyuarakan pendapatnya agar Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dengan sukarela mengundurkan diri.
Apa jawab sang ketua? Jawabnya, apakah bisa perbuatan pidana dipertanggungjawabkan kepada orang lain? Dalam napas yang sama, katanya, “Saya tidak perlu diminta mundur. Saya janji jika terjadi lagi pada pimpinan tingkat banding, saya mundur.”
Asal muasal Gayus Lumbuun ialah politikus.
Ia anggota DPR, yang kemudian menjadi hakim agung.
Meminta Ketua MA mundur lebih merupakan ekspresi politikus ketimbang ekspresi hakim agung.
Karena itu, suara Gayus Lumbuun itu, terus terang, maaf, di telinga saya, tidak berbobot lebih.
Alkisah, bulan lalu, Ketua MA mengeluarkan maklumat.
Isinya MA akan memberhentikan pemimpin MA atau pemimpin badan peradilan di bawahnya secara berjenjang dari jabatannya bila ditemukan bukti proses pengawasan dan pembinaan tidak dilakukan berkala dan berkesinambungan.
Maklumat itu terbit 11 September 2017.
Namun, belum sebulan, 6 Oktober 2017, ketua pengadilan tinggi tertangkap tangan KPK.
Siapakah atasannya secara berjenjang yang bertanggung jawab?
Kata Gayus Lumbuun, atasan itu ialah Ketua MA.
Kata juru bicara MA Suhadi, atasan langsung ketua pengadilan tinggi ialah Dirjen Peradilan Umum.
Begitulah, siapa atasan yang bertanggung jawab berjenjang merupakan perkara besar dalam hal terjadi yang busuk-busuk.
Sebaliknya, dalam hal terjadi yang bagus-bagus, berlapis-lapis yang mengaku karena jerih payahnya.
Adakah yang baru dalam perkara itu? Tidak.
Karena itu, dari perspektif moral baiklah bangsa ini ‘sejenak’ keluar dari urusan mencari kambing hitam siapa yang bertanggung jawab secara berjenjang.
Adagium bahwa tidak ada ‘kelompok kerja’ yang buruk, yang ada hanya pemimpin yang buruk, terlalu benar untuk ditampik.
Dalam hal pengadilan, adakah ‘kelompok kerja’ yang bernama majelis hakim yang bersih, tapi ketua pengadilannya kotor?
Sebaliknya, ketua pengadilannya bersih, tapi majelis hakimnya kotor?
Atau semuanya sama-sama kotor?
Sesungguhnya tidak banyak keraguan mengenai berlangsungnya jual beli keadilan di pengadilan.
Hal itu ditengarai terjadi di bawah (pengadilan negeri), di tengah (pengadilan tinggi), dan di puncak (mahkamah agung).
Tidak banyak keraguan, tapi sedikit pembuktian dan penindakan.
Salah satu prestasi KPK ialah terungkapnya jual beli keadilan yang telah lama tersembunyi itu melalui OTT, yang inheren di dalam operasi itu melekat pembuktian sekaligus penindakan.
Maklumat Ketua MA sudah pasti bukan ancaman yang efektif, apalagi dalam sebulan mampu mengubah hakim yang kotor menjadi bersih di semua jenjang badan peradilan.
Buanglah jauh-jauh harapan kosong itu, termasuk bila Gayus Lumbuun yang menjadi Ketua MA.
Manakah lebih kuat maklumat atau undang-undang?
Itu pertanyaan menggelikan.
Apakah hakim tahu ada undang-undang korupsi?
Itu pertanyaan tolol. Sudah pasti tahu, tetapi memilih pura-pura tidak tahu. Sampai ‘ketahuan’.
Yang rontok di tangan hakim ialah fungsi hukum, menunjukkan ‘apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan’.
Jual beli keadilan terjadi karena batas-batas ‘boleh dan tidak boleh’ itu rontok.
Semua boleh dilakukan.
Karena itu, mencegah jual beli keadilan dengan cara mengejar tanggung jawab secara berjenjang, cuma manis dalam maklumat.
Maklumat Ketua MA itu malah memperkuat fakta, bahwa pujian diberikan kepada undang-undangnya, bukan kepada manusianya (hakimnya, ketuanya), bukan pula kepada lembaganya (pengadilannya), baik di dalam dirinya sendiri ataupun berjenjang.
Saya sendiri menilai tanggung jawab berjenjang di lingkup badan peradilan sebetulnya aneh.
Bukankah dalam putusan hakim, tiap jenjang badan peradilan punya tanggung jawabnya sendiri?
Hakim kiranya orang yang memelihara hukum dan menegakkan keadilan antara lain dengan cara ‘memelihara jiwanya’.
Terlepas dari perbuatan pidana tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada orang lain, apakah tanggung jawab ‘memelihara jiwa’ itu dapat berjenjang?
Jika saja malu itu berjenjang, tanggung jawab berjenjang, korupsi tidak terjadi di atas karena amat besar malunya.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.