Om Telolet Om
SENANG hati karya anak bangsa, sopir bus antarprovinsi, melanglang buana, go international. Bunyi klakson bus diaransemen menjadi ‘Om telolet Om, tersebar sebagai viral. Di tangan orang bule, DJ Internasional, Om telolet Om menghasilkan koreografi yang sungguh-sungguh menghibur. Padahal, mereka tidak paham apa itu Om telolet Om, yang diterjemahkan sebagai uncle, honk, uncle.
Harfiah, Paman, klakson, Paman. Lagi-lagi terbukti, musik ialah bahasa universal. Terus terang, saya tertawa gembira menonton Om telolet Om. Kata orang suci, hati yang gembira ialah obat. Hati yang keruh, muka yang cemberut atau merengut, ialah penyakit. Tak perlu orang suci, untuk mengatakan yang terakhir itu. Suatu masyarakat bisa saja mengalami defisit kegembiraan, bahkan krisis kegembiraan.
Di mana-mana duka lara lebih besar daripada sukacita. Warga merana, hati meranggas. Hidup seperti hutan gundul. Alangkah malang masyarakat macam itu. Ada banyak pihak yang bertanggung jawab membuat dan memelihara kegembiraan warga. Yang pertama-tama harus disebut tentu negara, tepatnya pemerintah. Bila daya beli warga terus merosot, misalnya, sedangkan harga-harga kebutuhan pokok terus naik, bagaimana warga dapat hidup bergembira?
Akan tetapi, bagaimana pemerintah dapat fokus, kreatif, gembira bekerja, bila presiden/kepala pemerintahan/kepala negara terancam makar? Karena itu, setiap warga negara mestinya menghormati dan membela hasil pemilihan umum (pemilu). Ingin mengganti presiden? Sabar, tunggulah Pemilu 2019.
Yang kedua dapat membuat warga gembira tentu para ulama. Siraman batin dengan ayat-ayat suci yang sejuk, mencerahkan, menyuburkan optimisme kebersamaan berbangsa dan bernegara, kiranya membuat orang bisa melihat harapan bersinar terang. Yang ketiga tentulah para artis, entertainer, yang dengan talentanya memang hidup untuk membuat orang lain gembira.
Seorang sahabat perempuan yang suaranya sangat bagus, berpendapat hidup yang menyenangkan ialah menjadi penyanyi. Kenapa? Lagu sedih yang sentimental sekalipun dapat membuat audiens bertepuk, terhibur. Lagu sedih kok menghibur? Kesedihan yang dihayati, ekspresif, juga obat. Dibayar pula, katanya. Penghibur yang kian menonjol stand up comedy.
Mereka tampil di televisi, membuat pemirsa terpingkal-pingkal, terutama ketika logika dibikin tak logis. Kata Cak Lontong, “Yang mau kuliah jangan sampai salah ngambil jurusan. Misalnya Anda ingin kuliah di UI, jangan ambil jurusan Pulogadung.” Lagi pula, “Mau gagal, mau sukses, itu tidak penting. Yang penting berhasil!”
Hemat saya, perkenankanlah tiga-empat anak riang gembira membawa bendera di tepi jalan, berteriak Om telolet Om, dan dijawab paman sopir dengan musik klakson yang menyenangkan. Sejauh ini spontanitas itu berlangsung dalam tertib sosial. Apa yang dikhawatirkan? Sepatutnya negara ikut bergembira bila rakyatnya bergembira. Bukan malah melarangnya.
Wajah negara ketat dan kecut yang suka melarang inisiatif warga padahal mengundang kegembiraan sebaiknya dikendurkan sedemikian rupa sehingga bersahabat dengan kreativitas dari bawah seperti Om telolet Om. Sebaliknya, wajah negara harus keras dan tegas terhadap anarkisme dan radikalisme. Tanpa kompromi secuil pun. Daripada melarang Om telolet Om, baiklah dibuat kompetisi Om telolet Om yang kaya koreografi.
Pasti asyik menontonnya. Bayangkanlah betapa meriah pergantian tahun bila bunyi terompet diselingi dengan Om telolet Om. Hati yang gembira ialah obat. Obat gratis dari rakyat untuk rakyat. Tak masuk APBN, tak bakal dikorup. Om, 2017 tahun telolet, Om.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.