Orang Hebat

299

SETYA Novanto kembali menjadi Ketua DPR. Semua terjadi dalam tempo sesingkat- singkatnya. Bahwa dia mengucap sumpah jabatan sampai tiga kali diulang karena salah, publik kiranya hanya punya satu pilihan, harap maklum. Apakah Ade Komarudin tersingkir atau disingkirkan dari jabatan Ketua DPR, bukan pertanyaan yang relevan. Siapa yang tahan digebuk dari dua sisi, politik dan etika sekaligus? Umumnya kle nger. Kiranya tak kecuali seorang Ade Komarudin, tumbang. Semula publik mengira pernyataan Ade Komarudin yang panjang lebar berisi ‘aku rapopo’ (aku tidak apa-apa) mencerminkan dia legowo.

Ternyata tidak. Dia membantahnya, bahwa dia tidak pernah mengatakan legowo. Yang dia bilang, dia akan mematuhi per aturan. Setelah mengatakan rapopo, faktanya ia tidak langsung mengundurkan diri dari jabat an Ketua DPR. Ia masih menawar agar tidak terburu-buru karena ia akan berobat ke Singapura. Ia tidak memilih lebih dulu melepaskan ja batan untuk leluasa berobat. Terjadilah pergantian jabatan seperti secepat kilat. Bukan saja karena partainya, Golkar, memberhentikan Ade dari jabatan Ketua DPR, melainkan juga karena Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memutuskan Ade bersalah dan karena itu ia dipecat dari kedudukannya selaku Ketua DPR.

Ia dinyatakan bersalah karena dua hal. Pertama, memberikan persetujuan rapat sem bilan BUMN dengan Komisi XI tanpa sepengetahuan Komisi VI, mitra kerjanya. Kedua, mengulur waktu dalam pembahasan RUU Pertembakauan. Apa bedanya dengan Setya Novanto, yang juga bersalah dalam perkara papa minta saham? Bedanya, Setya Novanto tidak menanti di vonis, tidak menunggu sampai dipecat dari kedudukan Ketua DPR. Ia sigap dan lincah me milih mengundurkan diri. Pengunduran di rinya itu memuaskan publik.

Novanto bukan hanya sigap dan lincah ketika tersesak dan terdesak, terlebih setelah longgar bernapas. Ia bermanuver, terpilih men jadi Ketua Umum Partai Golkar. Akalnya ru panya tak kunjung istirahat untuk memulihkan kedudukannya. Ia lalu mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa rekaman tidak dapat dijadikan bukti. MK pun tidak kehabisan akal, mengabulkannya. Maka gugurlah semua bangunan fakta dan argumentasi MKD, yang mengadili Setya Novanto berdasarkan rekaman pembicaraannya dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.

Berdasarkan semua itu, Setya Novanto mengajukan peninjauan kembali ke MKD agar harkat dan martabat serta nama baiknya dipulihkan. MKD mengabulkannya. Setya Novanto bersih kembali. Setelah itu, terbentanglah jalan tanpa hambatan. Dalam kedudukan yang lebih kuat sebagai Ketua Umum Golkar, ia kembali menduduki kursi Ketua DPR. Publik tidak tahu apa dosa besar Ade Komarudin sehingga ia begitu rapuh dan gampang benar dihabisi. Padahal, ia saat ini Ketua Umum Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), salah satu pendiri Golkar.

Yang jelas, semua fraksi di DPR setuju pergantian Ketua DPR, dengan alasan hak Golkar untuk mengganti orangnya. Sebuah argumen yang menjadi ganjil karena Fahri Hamzah tidak tergantikan selaku Wakil Ketua DPR, sekalipun partainya, PKS, memutuskan mencopotnya. Setya Novanto hebat dengan seluruh manuvernya, dapat menguasai partainya, membelokkan Golkar dari oposisi menjadi koalisi, dan mengembalikan kedudukannya sebagai Ketua DPR. Fahri Hamzah? Ia hebat karena dapat mengalahkan partainya di pengadilan dan tetap bertahan dalam kedudukannya selaku Wakil Ketua DPR. Ade Komarudin? ‘Aku rapopo’, kata dia, semoga kesehatannya pun hebat, ‘raono masalah’.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.