Politisasi MKD

312

MAHKAMAH Kehormatan Dewan (MKD) bisa menjadi mahkamah penjagalan Ketua DPR. Terdengar sadis? Memang! Korban penjagalan pertama ialah Ketua DPR Setya Novanto gara-gara kasus papa minta saham. Korban pejagalan kedua yang tengah diincar ialah Ade Komarudin, Ketua DPR sekarang. Ade diduga melakukan pelanggaran kode etik di dalam urusan yang lazim dipersepsikan ‘gemuk’, yaitu urusan penyertaan modal negara di BUMN, yang merupakan urusan Komisi VI. Sebanyak 36 anggota Komisi VI dari semua fraksi melaporkan Ade kepada MKD.

Pengadilan kasus papa minta saham di MKD menunjukkan terjadi pelanggaran etik. Novanto lengser dari kedudukannya. Namun, hari belum kiamat. Novanto bahkan naik pangkat lebih tinggi menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Lebih tinggi karena fraksi di parlemen perpanjangan tangan partai. Dalam posisinya selaku Ketua Umum Golkar, banyaklah yang dapat dikerjakan Novanto. Yang paling mencolok ia bakal mengusung Jokowi menjadi presiden jilid 2.

Yang paling seru, permohonannya dikabulkan Mahkamah Konstitusi, bahwa alat bukti rekaman elektronik dalam persidangan MKD tidak sah. Padahal, Menteri ESDM Sudirman Said menjadikan rekaman pembicaraan Novanto dengan Presiden Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoeddin sebagai bukti utama. Berdasarkan putusan MK itu, Novanto mengajukan peninjauan kembali proses persidangan atas perkara pengaduan Sudirman. MKD mengabulkannya, memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Setya Novanto.

Setelah semua rehabilitasi itu, apa yang aneh jika Novanto ingin kembali menjadi Ketua DPR? Untuk itu, Ade mesti lebih dulu ‘dikerjain’, disidang MKD. Sejarah Novanto kiranya diharapkan terulang. Ade diharapkan tersingkir dari jabatan Ketua DPR. Skenario tersebut karangan saya, merupakan upaya menerjemahkan, me reka-reka, lalu mengonstruksikan secara gamblang kira-kira apa yang di maksud dengan per nyataan Wakil Ketua MKD Sa rifuddin Suding bahwa, “Kami tidak mau MKD jadi alat untuk di politisasi karena adanya gejolak di internal Golkar.”

Terutama berkaitan dengan direhabilitasinya nama baik Novanto. MKD alat DPR. Parlemen di mana pun lembaga politik. Kelahiran MKD sebetulnya lebih sebagai alat politik DPR untuk membentengi anggotanya dari jerat hukum. Namun, fakta tertangkap basah oleh KPK menjebol benteng itu. Kasus papa minta saham pun tak terbendung lebih karena bertubi-tubinya tekanan opini publik.

Apakah kasus Ade ‘sedramatik’ itu? Apakah publik peduli? Orang kiranya cuma mau menonton pertunjukan, siapakah lebih kuat, Ketua Umum Golkar Setya Novanto atau Ketua DPR asal Golkar Ade Komarudin? Pertunjukan politisasi MKD untuk kategori lucu-lucuan. Sebagai perbandingan, ambillah urusan mudah, tapi serius. Sekalipun gamblang pelanggaran etika, MKD ogah mengadili anggota DPR pemalas, pembolos.

Cari aman, MKD mengembalikannya ke partai masing-masing. Kenapa? Bila per kara anggota DPR pemalas diadili, mungkin terlalu banyak yang divonis bersalah. Siapa tersisa di Se nayan? Karena itu, lucu-lucuan politisasi MKD lebih dipilih daripada menegakkan disiplin wakil rakyat yang terhormat.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.