Blunder

288

SETELAH kemenangan Brexit melalui referendum, David Cameron mengundurkan diri dari jabatan PM Inggris disertai berbagai penilaian buruk.

Bahkan, sangat buruk buat biografi seorang tokoh yang telah dua kali menjabat PM.

Ada yang menyebut ia melakukan blunder, kesalahan besar dalam sejarah.

Hanya dalam referendum 11 jam pada 23 Juli 2016, upaya panjang 60 tahun lebih membangun kebersamaan dalam Uni Eropa copot seketika.

Ada yang menilainya sebagai penjudi kalah.

Penjudi menang kiranya dapat dimaafkan oleh sejarah.

Penjudi kalah?

Tanpa pengampunan secuil pun.

Mempertaruhkan pilihan warga atas ‘yes’ atau ‘no’ terhadap kompleksitas masalah kenegaraan yang berdampak sangat jauh jelaslah sebuah perjudian terbesar seorang perdana menteri.

Cameron bukan orang bodoh.

Ia pemimpin yang berhasil mengemudikan negaranya mengatasi krisis finansial.

Kenapa ia berjudi?

Jawabnya, karena ia terpenjara kemenangan demi kemenangan.

Kemenangan dikira membawa kemenangan baru.

Padahal, tidak selalu, bahkan tidak ada jaminan.

Kemenangan referendum pertama mengenai cara memilih anggota parlemen pada 5 Mei 2011.

Kemenangan kedua, 18 September 2014, referendum untuk menjawab ‘yes’ atau ‘no’ terhadap independensi Skotlandia.

Yang menang, jawaban ‘no’ (55,3%), menolak Skotlandia keluar dari Inggris Raya.

Cameron kalah berjudi karena banyak warga yang suaranya ditengarai putus dengan elite politik.

Bertambah celaka, pendukung pilihan agar Inggris tetap bersama Uni Eropa tidak menggarap mereka.

Penilaian paling kejam, Cameron telah merampas masa depan orang muda Inggris.

Kemenangan Brexit, kemenangan kaum tua, kekalahan warga kota berusia muda, yang berpendikan lebih baik.

Pendukung Brexit 40% berusia di atas 65 tahun.

Sebaliknya, 73% warga yang berumur 18-24 tahun memilih tetap bersama Uni Eropa.

Yang pasti, kemenangan Brexit lebih merupakan kemenangan koran the Sun dan the Daily Mail, serta Boris Johnson, mantan Wali Kota London, yang sangat bernafsu menjadi PM Inggris, menggantikan Cameron, sang pecundang.

Sanggupkah Johnson mengemudikan Inggris?

Ia dinilai tak punya jawaban, apakah model Norwegia, Swiss, atau Albania yang bakal digunakan Inggris setelah keluar dari Uni Eropa.

Bahkan, ada yang memandangnya ‘kecil’. B

eban dan tanggung jawab sebagai Wali Kota London dinilai hanya urusan ‘sambilan’ (part time) jika dibandingkan dengan urusan raksasa memimpin Inggris setelah Brexit.

Di tengah banyak yang kecewa, antara lain Barack Obama, yang paling gembira kiranya ialah Donald Trump.

Bahkan, ada yang meramalkan Brexit berdampak bagi kemenangannya menjadi Presiden AS.

Rakyat Inggris telah memilih.

Hal yang bukan mustahil diikuti negara lain, apabila setelah bercerai, Inggris berhasil membuktikan kejayaan mereka.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.