Kreativitas Istana
PRESIDEN Jokowi melantik serentak tujuh gubernur-wakil gubernur hasil pilkada serentak 2014, di Istana, Jumat (12/2/2016). Lebih cepat 4 bulan dari rencana semula Juni 2016 yang sempat diwacanakan kementerian dalam negeri.
Presiden merespons kritik apa perlunya melantik gubernur-wakil gubernur baru semuanya secara serentak. Pasangan gubernur-wakil gubernur terpilih yang tidak bermasalah di Mahkamah Konstitusi agar segera dilantik, segera bekerja, segera produktif, segera mengabdi untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat.
Semula terbetik pula rencana melantik serentak semua pasangan bupati-wakil bupati/wali kota-wakil wali kota di Istana, juga pada Juni nanti. Pada 17 Februari ini, mereka yang tidak berperkara di Mahkamah Konstitusi, dilantik di provinsi masing-masing. Tidak di Istana, sesuai undang-undang. Seperti halnya gubernur-wakil gubernur terpilih, mereka pun tidak lagi tengak-tenguk buang waktu 6 bulan, menanti semuanya dilantik serentak. Usai dilantik, segera bekerja. Kata Presiden, “Jangan bekerja di belakang meja, turun langsung ke lapangan untuk mengurai masalah, menyelesaikan masalah.”
Yang paling mengesankan ialah Presiden Jokowi merevitalisasi secara kreatif pelantikan gubernur-wakil gubernur di Istana dengan sentuhan baru, sudut pandang baru, bahkan pemaknaan baru. Sebuah kreativitas istana, yang menjungkirbalikkan penilaian penulis di forum ini (Senin, 28/12/2015), bahwa pelantikan serentak di Istana terasa hebat, tetapi cuma bergaung sebentar. Oleh karena itu, pikiran seremonial melatarbelakangi pelantikan serentak di istana sebaiknya dibuang saja. Penulis salah besar.
Salah besar, karena dua hal pokok. Pertama, prosesi pelantikan gubernur/wakil gubernur itu mengadopsi prosesi penyambutan duta besar negara sahabat menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada presiden. Setelah semua pasangan gubernur-wakil gubernur menerima petikan keppres, Presiden beserta Wapres dan seluruh pasangan kirab menuju ruang pelantikan di Istana Negara diiringi marching band Paspampres yang berseragam resmi merah dan putih.
“Saya merasa sangat bangga, terhormat, dan bersyukur sekali Pak Presiden dan Wakil Presiden memberikan perhatian khusus kepada kami. Ini menjadi catatan sejarah karena baru pertama kali (dilantik di Istana),” ungkap Gubernur terpilih Jambi, Zumi Zola (Media Indonesia, 13/2/2016), kiranya mewakili suara rekan gubernur yang tersanjung.
Kedua, Presiden mengembalikan dan menguatkan ke jalan yang benar, bahwa gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah. ?Pembangunan di daerah haruslah berpedoman pada visi dan misi Presiden. Dengan cara itu, terciptalah integrasi serta sinergi dalam percepatan pembangunan nasional. Di era kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, presiden juga dipilih langsung oleh rakyat, gubernur sepertinya tidak lagi merasa dirinya sebagai wakil pemerintah pusat. Merasa punya legitimasi yang sama. Bedanya cuma luasnya cakupan teritori dan banyaknya penduduk. Perasaan tentang legitimasi yang sama itu pulalah kiranya membuat bupati/wali kota mencuekkan, bahkan mengabaikan gubernur. Semua itu ekses pemilihan langsung serta sempitnya pemahaman otonomi yang memicu kelakuan sentrifugal, kelakuan melanting atau menjauh dari pusat.
Melalui pelantikan serentak gubernur-wakil gubernur di Istana, Presiden Jokowi serentak merevitalisasi hubungan pusat-daerah. Serentak dengan itu pula, Presiden menegaskan luas dan besarnya legitimasi visi dan misi pesiden, seraya mengingatkan ‘batas’ legitimasi visi dan misi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Bukankah tiap calon kepala daerah juga memiliki visi dan visi? Bukankah itu yang dijual dalam kampanye pilkada? Kata Presiden tegas, “Setelah pilkada serentak berakhir, kini saatnya kita melangkah bersama untuk melanjutkan ujian sejarah berikutnya yang mahaberat, yakni mewujudkan janji Saudara untuk mencapai kesejahteraan rakyat di daerah yang Saudara pimpin.”
Berbasiskan frasa ‘kini saatnya kita melangkah bersama’, pidato Presiden itu dapat diterjemahkan menjadi, “Rakyat di daerah yang dipimpin Saudara Gubernur ialah (juga) rakyat di Republik yang saya pimpin. Mewujudkan janji Saudara untuk mencapai kesejahteraan rakyat di daerah yang Saudara pimpin, adalah (juga) mencapai kesejahteraan rakyat Indonesia yang saya pimpin.”
Di zaman tanpa GBHN, visi dan misi Presiden kiranya merupakan GBHN. Karena itu, kepala daerah seharusnya melaksanakannya. Jika saja MPR kreatif, MPR tinggal mengesahkan visi-misi calon presiden-wakil presiden hasil pilihan rakyat, yang telah dilantik MPR. Bukankah visi dan misi itu telah menjadi dokumen negara di Komisi Pemilihan Umum, telah diperdebatkan, telah pula disosialisasikan kepada rakyat? Tunggu apa lagi MPR?
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.