Pelantikan Serentak

292
KATA ‘serentak’ rupanya kian memiliki daya ‘magis’. Sampai-sampai, yang tak perlu serentak pun dibikin serentak. Contoh, gagasan melantik serentak kepala daerah hasil pilkada serentak. Apa perlunya dibikin serentak? Tidakkah itu buang-buang waktu? Pelantikan serentak diwacanakan Kementerian Dalam Negeri diselenggarakan Juni 2016. Bagi pasangan kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai pemenang pada Desember 2015, tanpa gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK), terbuang waktu enam bulan. Waktu yang panjang untuk tengak-tenguk, ‘pengangguran’.Mengapa tidak segera dilantik, segera bekerja, segera produktif, segera mengabdi untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat? Lagi pula, menganggur ‘bisa masuk angin’. Layaklah diwaspadai bahwa setan berpeluang lebih besar menggoda kepala daerah minus pelantikan yang punya waktu ongkang-ongkang atau keluyuran ke sana-kemari. Selain itu, potensial memberi ruang kasak-kusuk, bergerak tanpa bola, bagi yang kalah, tak legawa. Mereka sudah pasti menjadi kepala daerah. Akan tetapi, karena belum menjadi penyelenggara negara, sama seperti orang di pinggir jalan, tanpa protokoler, tanpa ajudan, tanpa pengawalan negara.

Tidakkah masa ‘pengangguran’ itu rawan? Tentu harus sangat berbeda perlakuan terhadap pimpinan nasional. Ketika masih berstatus capres/cawapres saja sudah dikawal ketat, terlebih setelah terpilih, kendati belum dilantik menjadi presiden/wakil presiden. Akan tetapi, waktu lowong sebelum dilantik lebih pendek. Pilpres 9 Juni 2014, penetapan MK pasangan presiden dan wapres terpilih 22 Juli, pelantikan Jokowi-JK 20 Oktober. Sejak keputusan MK hingga pelantikan, hanya tiga bulan. Menunda pelantikan kepala daerah enam bulan, demi terlaksana serentak, rasanya juga berbeda suasana kebatinan dengan KPU, yang berupaya ketat menyusun dan menjaga tahapan penjadwalan pilkada serentak.

Dijadwalkan terakhir besok, bagi pasangan bupati-wakil bupati dan pasangan wali kota-wakil wali kota tidak ada permohonan perselisihan hasil pemilihan (PHP), sudah diketahui siapa bakal dilantik. Rabu (30/12), dengan ketentuan sama tidak ada PHP, sudah diketahui siapa dilantik menjadi gubernur-wakil gubernur definitif. Apa alasan substansial tidak segera melantik mereka? Menunda pelantikan memperpanjang masa pelaksana tugas (plt) kepala daerah. Tidak bagus daerah berlama-lama dipimpin plt. Berlama-lama menjadi plt pun tidak bagus karena sang plt sesungguhnya meninggalkan tugas dan jabatannya untuk menjadi plt, yang juga memerlukan semacam plt untuk memangku tugas dan jabatan yang ditinggalkan.

Bertambah tak elok, bila menteri dalam negeri memang bersengaja mendesain plt berlama-lama. Tidakkah ada udang di balik batu? Pikiran seremonial melatarbelakangi pelantikan serentak sebaiknya dibuang saja. Gubernur serentak dilantik di Istana Presiden terasa hebat, tetapi cuma bergaung sebentar. Jika melantik satu per satu dianggap tidak praktis, lantiklah secara bergelombang. Terlepas alasan tidak praktis, perlu diingat bahwa pelantikan di rumah rakyat masing-masing, DPRD setempat, lebih bermuatan tanggung jawab dan lebih bergema dalam konteks lokal. Bukankah gubernur tidak bertanggung jawab kepada presiden, tetapi menyampaikan LKPJ kepada DPRD? Tempalah besi selagi panas. Enam bulan bisa bikin dingin. Padahal, banyak sekali urusan kepublikan yang perlu segera ditempa.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.