Pansus Menteri Rini
Padahal, itu anak kandung sistem parlementer. Kabinet bahkan dapat dijatuhkan parlemen. Dalam sistem presidensial, parlemen menjalankan tugas pengawasan dengan menghormati garis api legislatif dan eksekutif. Mengawasi, tidak mencampuri. Kehendak mengganti menteri diartikulasikan dan diperjuangkan parlemen jalanan, antara lain lewat yel-yel dan coretan di spanduk. Bukan diekspresikan dalam keputusan parlemen, kecuali wakil rakyat yang terhormat ingin pula disemati gelar parlemen jalanan. Ada pertanda membentuk pansus sebagai modus mendesak presiden mengganti menteri.
Setelah Pansus Pelindo II yang merekomendasi memberhentikan Menteri BUMN Rini Soemarno, terbit ke permukaan kehendak DPR membentuk pansus Freeport. Tujuan pokoknya mencopot Menteri ESDM Sudirman Said. Bila pansus itu terbentuk, itu pansus balas dendam kubu Setya Novanto terhadap Sudirman Said. Bukankah semua anggota MKD berkesimpulan teradu, Ketua DPR Setya Novanto, melakukan pelanggaran sedang dan berat? Artinya, pengadu Sudirman benar. Jika Sudirman Said dipansuskan, apakah Presiden bakal memenuhi rekomendasi agar memberhentikan Sudirman seperti menimpa Rini?
Jika rekomendasi itu pun diindahkan Presiden, sesungguhnya sistem presidensial tergerogoti lebih dalam. Keinginan menjatuhkan Menteri BUMN Rini Soemarno sering dikumandangkan anggota DPR dari segelintir partai. Kini suara itu diberi power hebat menjadi rekomendasi pansus. Power hebat karena pansus dapat berujung pada interpelasi. Namun, gairah miring yang melatarbelakangi terbentuknya pansus, seperti ketidaksukaan terhadap menteri, bahkan dendam, membuat rekomendasi penggunaan hak prerogatif kian layak untuk tidak diindahkan.
Menteri itu pembantu presiden. Bukan pembantu DPR. Presiden duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan DPR. Hak prerogatif presiden hendaklah dipercayakan sepenuhnya untuk dipergunakan sebaik-baiknya, searif-arifnya yang empunya hak. Jangan digerecoki parlemen.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.