Hak Prerogatif

290

PRESIDEN Jokowi mengajukan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo menjadi Panglima TNI menggantikan Jenderal Moeldoko. DPR bakal menyetujui sebab itu hak prerogatif presiden. The Jakarta Post menurunkan berita berjudul TNI Chief Nomination Seen as Reform Setback (Kamis, 11/6). Reformasi dinilai mundur karena tradisi Pang lima TNI bergantian dari Angkatan Darat, Laut, dan Udara tidak lagi diteruskan Presiden Jokowi.

Jenderal Moeldoko menjadi Panglima TNI menggantikan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Agus Suhartono. Seyogianya giliran Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna menjadi Panglima TNI. Namun, Angkatan Udara harus berlapang dada karena presiden, kepala negara, Panglima Tertinggi TNI berkeputusan lain. Prajurit harus tunduk dan loyal.

Konvensi jabatan Panglima TNI bergantian telah dipelihara konsisten oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal, ia memiliki korps dan jelas seorang jenderal Angkatan Darat. SBY teguh melaksanakan aspirasi reformasi, sekalipun UU No 34 Tahun 2004 Tentang TNI memberi kelonggaran, yaitu Panglima TNI dapat dijabat bergantian. Kata ‘dapat’ menunjukkan bukan keharusan.

Sejarah lalu mencatat lain, di tangan Presiden Jokowi, yang notabene seorang sipil, konvensi itu ‘seperti akan dikembalikan’ ke masa Orde Baru, ke zaman dwifungsi ABRI. Kesimpulan itu kayaknya gegabah kendati masih dibungkus dengan frasa ‘seperti akan dikembalikan’. Senyatanya bukan hanya konvensi jabatan Panglima TNI yang berubah di bawah kekuasaan Presiden Jokowi.

Aspirasi reformasi bahwa menteri pertahanan dari kalangan sipil juga dikembalikan kepada Angkatan Darat, yaitu dengan diangkatnya Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu sebagai menteri pertahanan. Padahal, sebelumnya, sebagai buah reformasi, menteri pertahanan selalu sipil. Juwono Sudarsono ialah menteri pertahanan pertama dari sipil setelah 40 tahun (1959-1999) sepenuhnya diisi tentara.

Setelah Juwono, kalangan sipil yang menjadi menhan berurutan Mahfud MD, Matori Abdul Djalil, Juwono (lagi), dan terakhir Purnomo Yusgiantoro. Semua presiden hasil reformasi (Gus Dur, Megawati, SBY) menggunakan hak prerogatif menunjuk sipil sebagai menteri pertahanan, sampai kemudian setelah 15 tahun dipatahkan Presiden Jokowi.

Ketika Republik masih berusia muda, seorang sipil Sultan Hamengku Buwono IX dua kali menjadi menteri pertahanan. Menteri pertahanan dari kalangan sipil salah satu bukti supremasi sipil yang dikukuhkan kembali oleh reformasi. Keputusan berperang, contohnya, bukanlah keputusan militer, melainkan keputusan supremasi sipil melalui otoritas sipil, yaitu keputusan presiden dan disetujui DPR.

Tidak ada yang salah dengan hak prerogatif presiden mengangkat Panglima TNI dari Angkatan Darat. Namun, apa alasan kuat bahkan urgensi mendesak sehingga Presiden tidak memberikannya kepada Angkatan Udara? Sebaik-baiknya perkara ialah bila hak prerogatif tidak menimbulkan kontroversi dan resistensi. Diberikannya jabatan Panglima TNI kepada Angkatan Darat dapat ditafsirkan Presiden Jokowi ingin mengembalikan superioritas Angkatan Darat.

Eloknya presiden berhemat menggunakan hak prerogatif. Hak itu dipakai bila harus digunakan demi kebajikan dan kemaslahatan lebih besar. Bila tidak menggunakannya tidak mengurangi kebajikan dan kemaslahatan, mengapa harus dipakai? Hak prerogatif janganlah diumbar-umbar, kudu dieman-eman.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.