Wakil Presiden

307

DI awal tulisan ini, sebaiknya saya berterus terang bahwa saya terusik kerinduan tampilnya Wakil Presiden Jusuf Kalla kurang lebih seperti yang dulu. Kendati usianya tak lagi semuda di masa sebagai wapres mendampingi Presiden SBY, kelugasannya berpikir dan kegesitannya mengambil keputusan masih andal, seperti tampak di berbagai forum. Tak zamannya lagi wapres duduk manis sebagai ban serep. Desain kewenangan wapres jenis itu cukuplah di era kekuasaan Pak Harto, yaitu presidennya sama, tapi wapresnya berganti-ganti enam kali. Enam wapres itu ialah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, Try Sutrisno, dan BJ Habibie. Dua yang pertama tokoh senior berwibawa, yang telah berperan di Republik ini sebelum Pak Harto berkuasa.

Karena itu tak bisa dibikin duduk manis. Empat wapres berikutnya anak buah Pak Harto yang naik takhta menjadi RI-2. Akhirnya tragis, ban serep BJ Habibie menjadi presiden karena ban utama diturunkan di tengah jalan oleh gerakan reformasi. Nasib serupa dialami Gus Dur. Akan tetapi, dengan anteseden sejarah berbeda. Megawati tentu tidak dimaksudkan sebagai wapres ban serep sebab PDIP merupakan partai terbesar hasil Pemilu 1999. SBY memiliki kesempatan mempertahankan wapres yang sama Jusuf Kalla untuk masa kekuasaan kedua kali. Kenyataannya ia berkeputusan seperti Pak Harto, berganti pasangan dengan wapres baru, Boediono. Tentu dengan pertimbangan dan perhitungan yang lebih rumit daripada masa Pak Harto, karena pasangan capres-cawapres dipilih langsung oleh rakyat.

Tidak lagi dipilih MPR. Apa pun alasan SBY, publik menilai Wapres Jusuf Kalla berperanan penting waktu itu. Ia bahkan pengambil keputusan strategis berjangka jauh sekali, misalnya mengganti minyak tanah dengan gas untuk kebutuhan rumah tangga. Bagaimanakah menilai Wapres Boediono? Apakah ia dapat digolongkan wapres ban serep? Dari kejauhan tak salah bila berkesimpulan ia tampaknya lebih banyak duduk manis. Ia nyaris tak kelihatan turun ke lapangan. Ia pun tak banyak bicara. Dalam hal itu kiranya besar faktor personalitas. Profesor ekonomi itu low profile sehingga publik tidak tahu apa yang ia kerjakan. Jusuf Kalla dipasangkan dengan Jokowi tentu dengan alasan utama senior, berpengalaman.

Pendamping yang pas mengingat Jokowi tidak memiliki jam terbang selaku pemimpin di panggung nasional. Sekalipun tiada guna memutar kembali jarum jam sejarah, Jokowi belum tentu menang bila berpasangan dengan cawapres yang muda dan tak berpengalaman dalam pemerintahan di tingkat nasional. Namun, kualitas JK itu sejauh ini tampaknya tidak optimal didayagunakan Jokowi. Enam bulan memerintah, Presiden Jokowi telah dua kali mencabut keputusannya. Cukuplah sampai di situ. Jangan lebih. Soalnya, ada yang bersuara sarkartis, bila hal itu diteruskan, 5 tahun berkuasa 20 perpres dicabut. Saya berharap, saya keliru berpandangan bahwa Presiden Jokowi kurang betah berurusan dengan kekuasaan administrasi negara. Padahal, semua itu berada di pundaknya, yang harus ditandatanganinya entah dalam kekuasaannya selaku Panglima TNI, kepala pemerintahan, dan kepala negara. Untuk itu, terutama menyangkut keputusan yang bakal menimbulkan kontroversi hebat di tingkat masyarakat, mengapa tidak memanfaatkan pengalaman dan kearifan Wapres?

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.