Singa Vs Singa
KONFLIK singa (Polri) vs singa (KPK) berakhir mulus di permukaan berkat keputusan Presiden Jokowi yang membuat adem hati publik. Namun, persoalan mendasar dua singa tak selesai dengan sendirinya.
Singa pertama (Polri) tetap harus dibersihkan dari korupsi. Dalam persepsi publik, rekening gendut jenderal polisi tetaplah persoalan besar sekalipun status tersangka Komjen Budi Gunawan dipatahkan hakim Sarpin Rizaldi dalam sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan.
Putusan itu bahkan menuai kontroversi. Persepsi terburuk ialah mencari jenderal polisi berekening jujur dan bersih sesulit mencari jarum di timbunan jerami. Sampai kapan?
Negara harus serius membereskan remunerasi dan dana operasional Polri. Seiring dengan itu, negara membersihkan Polri dari korupsi tanpa kompromi. Saatnya pula mengembalikan hak prerogatif presiden mengangkat Kapolri tanpa persetujuan DPR. Kapolri bawahan langsung presiden. Kapolri bukan jabatan political appointee, melainkan jenjang karier.
Singa kedua (KPK) dipercaya publik, dibela militan. Abraham Samad dan Bambang Widjojanto menjadi tersangka bukan karena penyalahgunaan wewenang selaku komisioner KPK, melainkan karena urusan personal Abraham (pemalsuan dokumen) dan urusan Bambang selaku advokat (kesaksian palsu).
Bila itu kelak terbukti di pengadilan, publik wajib melimpahkan sebagian dosa masa lalu itu kepada DPR yang berwenang melakukan fit & proper test terhadap calon pimpinan KPK, sebagian lagi publik sendiri wajib memikulnya karena membiarkan DPR kecolongan. Publik tidak ikut membuka rekam jejak sang calon.
Singa kedua harus juga diwanti-wanti ada cela KPK sewenang-wenang karena tak ada batas waktu seseorang menjadi tersangka. Dalam hal itu bisa terjadi penggerusan hak sipil seseorang.
Contoh, Wali Kota Makassar Ilham Arif Sirajuddin dijadikan tersangka oleh KPK pada 7 Mei 2014, dicegah ke luar negeri sejak 9 Mei 2014. Sudah sembilan bulan lebih, tepatnya 293 hari, ia tak kunjung diadili. Sampai kapan?
Contoh lain, pada 22 Mei 2014 KPK menetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka. Hingga hari ini pun belum dimejahijaukan. Sampai kapan?
Menumpuk tersangka, lelet mengadilinya, apakah baik bagi penegakan hukum? Tidakkah terjadi penyanderaan oleh KPK? Pertanyaan itu didasari undang-undang, yaitu di satu pihak KPK memiliki kewenangan menyadap untuk mendapatkan bukti, di lain pihak KPK tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Itu artinya KPK menjadikan tersangka karena memang telah punya bukti kuat. Agar tidak terjadi human error, KPK mestinya telah pula gelar perkara dan menetapkan tersangka berdasarkan keputusan pimpinan kolektif kolegial. Jadi, membawa tersangka ke pengadilan hanya urusan simpel. Kata tukang bangunan, tinggal finishing.
Yang terjadi finishing tak kunjung finish. Tersangka berkepanjangan. Padahal, kewenangan penuntutan melekat di KPK. Menggantung-gantung orang dalam status tersangka tanpa batas waktu potensial merusak kredibilitas KPK.
Padahal, negara perlu dua singa, bahkan tiga singa (Polri, KPK, jaksa) bersih luar-dalam, tepercaya. Bapak Presiden, masih panjang jalan ke sana. Karena itu, jangan berlama-lama buang waktu memandangi rusa cantik asal Nepal di Istana Bogor.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.