Elite Politik di Jalanan

KIRANYA sangat aneh bagi siapa pun yang berpartai politik, terlebih pendiri partai politik, masih perlu turun ke jalan, berdemonstrasi untuk memperjuangkan kepentingannya. Apa pun kepentingan itu. Aneh, karena turun ke jalan berdemonstrasi antara lain menunjukkan bahwa mereka lebih percaya kepada parlemen jalanan. Bukan kepada DPR.

Bila parlemen jalanan lebih dipercaya, buat apa repot-repot berpartai? Buat apa bertarung di pemilu untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya di DPR? Jalanan sebagai ruang publik bukan pula pengganti bilik suara. Berbondong- bondonglah ke sana, bersuaralah sekencang-kencangnya dan setajamtajamnya di sana, tapi bukan di situ suara rakyat dihitung dan disahkan.

Karena itu, elite politik mestinya mengambil peranan untuk mengajak warga lebih berorientasi ke bilik suara ketimbang berdemo. Di situlah suaranya berharga, turut menentukan. Tentu saja ada kalangan yang berpandangan berdemonstrasi lebih merupakan pilihan daripada menyalurkannya ke DPR atau ke bilik suara. Berdemonstrasi itu hak warga yang diatur dalam perundang-undangan.

Akan tetapi, hal itu lebih masuk akal bila disuarakan dan dilakukan kalangan yang tidak berpartai atau tidak percaya kepada partai. Dari perspektif itu, elite partai mestinya membaca demonstrasi sebagai ‘umpan balik’, salah satu petunjuk bahwa ada yang salah, bahkan mungkin malah banyak yang salah, yang harus diperbaiki. Misalnya, kenapa kaum buruh terus berdemonstrasi setiap 1 Mei untuk mengartikulasikan kepentingan mereka?

Kiranya hal itu dapat dibaca sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada DPR khususnya, partai umumnya. Pilihan yang lebih menantang ialah kaum buruh kembali mencoba mendirikan partai buruh. Namun, bila kembali bernasib sama seperti sebelumnya, partai tersebut tidak cukup meraih suara untuk sampai di DPR, baiklah kaum buruh mempertimbangkan

untuk memercayai partai yang eksis.
Terus terang, saya tidak tahu lebih dalam apa alasan Ketua Umum PBNU KH Said Agil Siradj, ketika dalam acara Hari Santri Nasional berkata, melarang keras warga nahdiyin melakukan demonstrasi. Aksi menyampaikan aspirasi lewat cara demo dinilainya sama sekali tidak menguntungkan. “Apel santri seperti ini boleh. Demo tidak boleh. Warga NU tidak punya keuntungan, hanya rawan jadi fitnah,” katanya. (Media Indonesia, 23/10) Kiranya pendapat itu dicanangkan berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada Jakarta.

Ia mengajak kalangan nahdiyin menjaga keamanan dan ketertiban. Santri dan ulama harus menjadi garda terdepan menangkal segala isu SARA yang marak terjadi. Semua itu ajakan yang memenuhi harapan agar elite bangsa ikut menenangkan rakyat. Elite politik berperan membangun dan memelihara keadaban politik. Pilkada ialah hajat warga lima tahunan memilih calon kepala daerah yang terbaik, yang mestinya dipenuhi dan disemarakkan gairah dan kegembiraan persaudaraan, bukan
permusuhan dan kebencian.

Dalam pilkada Jakarta, semua partai ikut mengusung calon gubernur. Tidak ada partai yang absen. Tidak pula ada calon perseorangan yang diusung warga Ibu Kota semata karena tidak percaya kepada partai. Karena itu, sangat aneh bila ada elite politik mendo rong bahkan ikut berdemonstrasi untuk menekan salah seorang kandidat.

Tiga pasang calon kepala daerah Jakarta, sedikit atau banyak mewakili persamaan dan perbedaan di tengah warga. Pilkada bukan sarana untuk menggemuruhkan pertentangan, melainkan untuk mengabsahkan dan mengesahkan pilihan bersama. Karena itu, baiklah semuanya diputuskan bersama di bilik suara, bukan di jalanan .