Pertemanan dengan Koruptor

250

PERTEMANAN urusan personal. Bukan urusan negara. Bukan urusan publik. Siapa berteman dengan siapa sepenuhnya berada dalam ranah pribadi dan tanggung jawab pribadi. Pernyataan itu menegaskan supremasi ruang privat. Bahkan, pernyataan itu sepertinya menyelesaikan batas-batas hubungan orang yang berteman yang sepatutnya dimaklumi, bahkan dihormati siapa pun.

Suatu hari saya menonton di sebuah televisi perihal seorang artis tertangkap tangan menggunakan narkoba. Temannya diwawancara via telepon. Apa kata sang teman? Temannya bilang dia tidak tahu bahwa temannya itu pengguna narkoba. Dia baru tahu justru setelah temannya itu tertangkap dan diberitakan di media. Terlepas Anda dan saya tidak percaya omongan temannya itu, bukan urusan kita bila kemudian temannya itu menjenguk temannya di rumah tahanan.

Bukan urusan orang lain karena mereka sama-sama warga negara biasa, sesama ‘partikelir’. Akan tetapi, urusan tentu menjadi besar jika dengan alasan yang sama, pertemanan, Wakil Presiden Jusuf Kalla menjenguk temannya di rumah tahanan karena tertangkap tangan sebagai pengguna narkoba. Masak tidak boleh menjenguk teman sendiri?

Apalagi teman itu bukan pengedar, bukan penyelundup, melainkan pasien yang perlu direhabilitasi. Jangan salah paham. Perlu penegasan, contoh itu fiktif, karangan saya belaka. Seandainya pun terjadi di alam nyata, kiranya Bapak Wapres Jusuf Kalla berpikir panjang untuk menjenguk sang teman yang terkait dengan narkoba. Patut ditengarai bahkan JK, yang di dirinya melekat jabatan penyelenggara negara, mungkin sama sekali tidak menjenguk temannya itu.

Berbeda dengan kasus korupsi. Faktual, bukan fiktif, atas nama pertemanan, Wapres Jusuf Kalla menjenguk di rumah tahanan mantan Ketua DPD Irman Gusman yang tertangkap tangan KPK. Sepertinya Wapres tidak perlu berpikir panjang untuk melakukannya. Masak tidak boleh menjenguk teman sendiri, koruptor sekalipun? Contoh fiktif dan contoh faktual itu cuma mau menunjukkan para pejabat sangat keras terhadap narkoba, teman sekalipun.

Kenapa? Karena menyangkut narkoba terkandung aib besar. Bahkan, demikian malunya, tidak sedikit orang tua yang menyembunyikan fakta anak mereka pengguna narkoba. Sebaliknya koruptor tidak malu. Tidak jarang mereka tersenyum, melambaikan tangan, ketika berada di Kantor KPK. Bahasa tubuh mereka seakan hendak memperlihatkan kepada publik bahwa korupsi bukan aib besar.

Ditangkap KPK sepertinya hanya kesialan belaka. Kenapa? Karena korupsi di negeri ini dipandang merupakan kelakuan normal, sepanjang tidak tertangkap. Kenormalan hubungan pertemanan pun menjadi pembenar untuk menjenguk teman atau kolega yang ditangkap KPK. Timbul kritik, hal itu kontraproduktif terhadap kesungguhan memberantas korupsi.

Seorang pejabat menjenguk koruptor, atas nama pertemanan sekalipun, memperlihatkan sikap permisif terhadap korupsi. Pejabat negara mendapat berbagai privilese. Akan tetapi, mereka pun harus memikul yang tidak enak. Sampai derajat tertentu, mereka kehilangan privasi, kehilangan pertemanan.

Untuk itu, tidak bisa lain, sang pejabat harus keras terhadap diri sendiri. Sekental apa pun pertemanan, mereka harus keraskan diri untuk tak menjenguk sampai temannya yang korupsi itu divonis pengadilan. Bahkan, sampai berkekuatan hukum tetap.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.