Hanya untuk Satu Kali

262

SBY bilang banyak rakyat yang meminta dia untuk maju lagi, jadi presiden lagi. Untuk apa? “Agar program-program prorakyat dulu dihidupkan kembali.” Sebuah klaim yang tidak terlalu penting untuk diuji sahih atau tidak. Kenapa? Pertama, karena ini zaman selfie dengan berbagai versinya, termasuk memuji diri sendiri dengan kata-kata.

Kedua, begitu melihat berbagai infrastruktur yang dibangun Jokowi dalam tiga tahun pemerintahannya, maaf, saya sering bertanya dalam hati, apa sih yang dikerjakan SBY selama 10 tahun menjadi presiden?

Statement saya itu pun tidak perlu diuji kesahihannya. Kenapa? Karena memang mengandung subjektivitas. Masak menilik kinerja seorang presiden hanya dari satu sudut pandang, infrastruktur. Akan tetapi, apa pun penilaian rakyat (termasuk saya) tentang SBY,  di atas segalanya ada konstitusi yang bilang, “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

SBY paham benar Pasal 7 UUD 1945 hasil amendemen pertama itu. Sebaliknya, dalam hal menggadang-gadang JK untuk menjadi wapres kembali, ditengarai banyak yang tidak paham atau pura-pura tidak paham.

Lubang konstitusi yang dicari-dicari untuk berpura-pura tidak paham ialah konstitusi tidak menyebut bahwa setelah lima tahun berturut-turut memegang jabatan presiden dan wakil presiden tidak dapat dipilih kembali. Bukankah JK tidak berturut-turut menjadi wapres?

Muncullah wacana untuk meminta tafsir MK, sang penjaga dan pengawal konstitusi. Publik sepertinya mau dianggap bodoh, tidak paham makna frasa, ‘dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’.

‘Hanya untuk satu kali masa jabatan’ jelas dan tegas bermakna tidak ada urusan, apakah berturut-berturut atau tidak berturut-turut lima tahun menjadi presiden/wakil presiden. Persoalan malah muncul ketika urusan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden itu tidak diatur dengan gamblang di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Karena itu, ada yang membawanya ke MK.

Syarat yang minta diuji ialah ‘belum pernah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama’. Uji materi itu diajukan Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi, Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa, dan seorang warga negara bernama Muhammad Hafids, yang menilai syarat itu tidak tegas, dapat memberikan keragu-raguan, serta tidak memberikan kepastian hukum.

Kenapa? Karena dapat dijabat secara berturut-berturut atau tidak berturut-berturut. Pembuat undang-undang membahasakan syarat itu dalam bahasa negasi, ‘belum pernah’. Padahal, konstitusi membahasakannya secara afirmatif, ‘hanya untuk satu kali’. Ini hanya tambahan dari sekian banyak contoh undang-undang yang malah mengaburkan ketegasan konstitusi.

JK sendiri paham benar bahwa konstitusi tidak memungkinkan dirinya kembali menjadi cawapres. Namun, mereka yang melihat dunia ini sempit, seakan JK tidak tergantikan, mencoba mencari tafsir lain dari bunyi konstitusi yang gamblang, cespleng itu.

Perubahan UUD 1945 dilakukan dalam gairah hebat reformasi sehingga lahir produk konstitusi yang amat bernafsu mengoreksi kelonggaran yang dibuat para pendiri bangsa. Kelonggaran itu nyata sekali dalam Pasal 7 yang orisinal, ‘Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali’. Dapat dipilih kembali sampai Pak Harto 32 tahun berkuasa, dan diganti karena dijatuhkan.

Kalau hasil koreksi itu sekarang dinilai terlalu kaku, bukan MK tempat mengubah konstitusi. Semua kita tahu itu wewenang MPR. Daripada buang waktu dan energi sia-sia, seyogianya elite partai pendukung Jokowi berkonsentrasi mencari pengganti JK.

Sebaliknya, daripada selfie, ‘banyak rakyat yang meminta saya jadi presiden lagi’, SBY segera menuntaskan koalisi untuk melahirkan pemimpin baru yang katanya amanah, cinta rakyat, memikirkan rakyat, dan juga cerdas.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.