Setiap Zaman Punya Jarinya Sendiri
Evolusi Jari bukan tentang kemajuan mesin. Ia tentang bagaimana pikiran tetap memimpin—dan mesin, secerdas apa pun, tetap tahu diri: mengikuti.
Buku ini lahir dari kesadaran sederhana tapi mendesak: bahwa teknologi hanya akan secerdas manusia yang menuntunnya, dan tulisan hanya akan sebermakna pikiran yang melahirkannya.
Evolusi Jari bukan sekadar buku. Ia adalah pengingat, bahwa algoritma hanyalah instruksi dan nilai sejati tulisan tetap lahir dari keberanian dan kedalaman berpikir.
Evolusi Jari bukan sekadar metafora perubahan alat tulis. Ia adalah kolaborasi lintas generasi, lintas latar belakang (Batak dan Jawa, Kristen dan Islam), lintas tempat kelahiran (Jambi/Sumatra dan Banjarnegara/Jawa), lintas umur (1953 dan 1981), serta lintas keadaban teknologi (mesin tik dan prompt).
Saur Hutabarat datang dengan kekuatan berpikir wartawan yang ditempa zaman—zaman ketika setiap ide jurnalistik harus dipertanggungjawabkan dengan keberanian intelektual-profesional.
Ikhwan Syaefulloh, berlatar studi seni dan wiraswasta, merangkainya dengan kekuatan prompt—menerjemahkan pikiran ke dalam bahasa mesin tanpa kehilangan hati.
Keduanya bertemu dan berkolaborasi bukan untuk menggantikan, tetapi untuk menegaskan: bahwa di tengah gelombang algoritma, pikiran manusialah yang harus tetap menjadi nahkoda, menjadi sang pemimpin.
Menulis adalah kerja jari, berpikir adalah kerja manusia. Kerja yang tak boleh pensiun, tak boleh menyerah, meski zaman berganti dan mesin terus diciptakan oleh yang cerdas—seakan lebih cerdas daripada manusia yang punya getaran hati dan kedalaman berpikir.
Setiap zaman punya jarinya sendiri. Jangan takut menggunakan mesin cerdas—karena dia jari, bukan manusia. Dia menjalankan perintah.
Pemutus akhir perkara “fit to print” tetaplah manusia. Zaman berubah. Sang manusia memutuskan “fit to cloud”. Sang jari melaksanakannya. Menyentuh tuts. Buah pikiran terbang – tersimpan di awan.
Hanya manusia yang bisa berimajinasi. Berpikir. Menimbang. Memilih. Menentukan arah zaman.
