Gosip Kabinet

357

KENAPA kita suka gosip? Kata pemenang Nobel Ekonomi (2002) Daniel Kahneman, karena gosip jauh lebih mudah dicerna, sepanjang gosip itu menyenangkan kita.

Dalam hal apa gosip mudah dicerna dan menyenangkan kita? Dalam hal mengidentifikasi dan menandai kesalahan orang lain daripada untuk mengenali kesalahan kita.

Begitulah gosip menyenangkan sepanjang mengenai orang lain. Sebaliknya, gosip tidak menyenangkan bila menyangkut diri sendiri.

Bukankah menyenangkan digosipkan masuk ke kabinet Jokowi-Amin? Kerap digosipkan menjadi menteri ternyata pepesan kosong, jelas bukan perkara yang menyenangkan bagi yang berambisi. Padahal, itu kemungkinan besar terjadi.

Di situlah letak perbedaan utama gosip masuk kabinet jika dibandingkan dengan gosip artis kawin-cerai. Dalam gosip selebritas/entertainment yang bersangkutan umumnya membantah isu selingkuh, isu kawin-cerai, tapi kemudian perjalanan waktu yang tidak terlalu lama membuktikan sebaliknya. Gosip itu benar. Karena tidak menyangkut diri kita, kita mudah mencernanya, menikmatinya sebagai hiburan.

Gosip masuk kabinet bisa saja dilakukan diri yang ingin jadi menteri dengan cara memakai tangan orang lain, tangan gatal melalui media sosial. Inilah diri yang tidak percaya diri, bahkan tidak tahu diri. Dia mengira mengorbitkan namanya dalam gosip masuk kabinet itu dapat membuat Jokowi menimbang-nimbang namanya. Uji ombak, test the water, bahasa gagahnya. Jokowi kok dites. Ono-ono wae.

Salah satu gosip sedap ialah gosip zaken kabinet, yaitu kabinet yang menteri-menterinya berasal dari kalangan ahli di bidangnya. Tidak sepenuhnya gosip karena pernah diberitakan zaken kabinet ini diusulkan anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Ahmad Syafii Maarif. Buya Syafii tokoh terpandang dan tepercaya, karena itu saya menyebutnya sebagai gosip sedap. Usul itu masuk akal dalam sistem presidensial yang normal.

Faktanya sistem presidensial kita belum normal benar. Parlemen berkemampuan merecoki kabinet/pemerintah dengan macam-macam haknya. Bahkan, ada menteri di era Jokowi yang ditolak kehadirannya di DPR sampai sekarang.

Satu atau dua menteri elok ahli atau profesional di bidangnya, seperti Menteri Kesehatan. Akan tetapi, lebih elok lagi kalau sang ahli juga punya ‘sense’ dalam politik. Kabinet dapat tenang bekerja justru bila koalisi pemerintahan juga merefleksikan koalisi parlemen. Tentu saja dengan moral politik konstitusional yang tegas dan jelas, bahwa mengangkat atau memberhentikan menteri merupakan hak prerogatif presiden. Bos menteri bukan ketua umum partainya, tapi Presiden RI.

Gosip paling cantik ialah Jokowi bakal membawa Gerindra ke dalam kabinet. Alasannya, siapa pun terpilih menjadi presiden, termasuk Jokowi, presiden semua anak bangsa, termasuk presiden rakyat Indonesia yang memilih Gerindra dalam pileg dan memilih Prabowo dalam pilpres. Dalam perspektif itu membawa masuk Gerindra ke dalam kabinet perkara yang indah.

Akan tetapi, keindahan itu bakal mengurangi keindahan lainnya, yaitu indahnya checks and balances dalam demokrasi. Maka secantik-cantiknya perkara baiklah Gerindra gagah perkasa sebagai oposisi yang berkeadaban politik di DPR. Rasa hormat pada pemerintah yang dikritik dan dikontrol tidak mengurangi keperkasaan oposisi.

Gosip kabinet ini sebetulnya gosip yang kurang sopan karena siapa pemenang pilpres masih disengketakan di MK. Setidaknya gosip ini mencerminkan ada orang-orang yang tidak sabaran, yang ngiler jabatan. Bukankah presiden hasil Pilpres 17 April 2019 dilantik 20 Oktober 2019?

Kiranya baiklah air liur jabatan itu, ngeces itu ditahan tidak keluar di ruang publik selama empat bulan ini. Elite mampu menahan diri kiranya bagus untuk Indonesia.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.